Syaikh Al-Buthi: Cara Nabi dan Sahabat Membangun Daulah Islamiyah
Allãh swt telah mengatur berbagai perkara antara diri-Nya
dan hamba-Nya dengan porsi yang adil. Perkara-perkara tersebut diatur dengan
memerintahkan hamba-Nya untuk;
(1) benar-benar ber-Iman pada-Nya, sebagai Tuhan Yang Maha
Esa dan tidak ada yang menyekutui-Nya, dan benar-benar merasakan ke-hamba-an
dirinya di hadapan Allãh swt. Kemudian;
(2) menjalankan apapun perintah Allãh dengan
sebaik-baiknya, dan tidak memberi peluang pada syetan untuk mengadu-domba
sesama saudara (se-Iman).
Maka bagi siapapun yang melaksanakan ini, maka Allãh
berjanji akan memberikan "HADIAH" yang bersifat kejutan yang tak terduga karena tidak direncanakan yaitu tegaknya Daulah di atas bumi yang menjadi
tempat kehidupan mereka, dan mereka dijadikan khalīfah (pemimpin) untuk
negara-negara yang lain. Mengapa dikatakan hadiah yang tak direncanakan? Tujuan menjalankan perintah Allah semata untuk mencari keridhaannya.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ
لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚيَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚوَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
Artinya: "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."
Dengan ini kita mengerti, bahwa apa yang Allãh berikan pada
umat Islam di Madinah, adalah "buah" dari perilaku baik yang telah
dilakukan oleh Sahabat Nabi. Jadi di sana ada dua hal; yang pertama adalah
"tugas" yang Allãh berikan pada kita, dan yang kedua adalah "hadiah" yang Allãh janjikan pada kita, dan Allãh tidak akan
menyalahi janji-Nya.
Kalau kita membayangkan Sayyidina Abu Bakar ra sebagai Khalifah
pertama setelah Rasulullãh, dan kita seumpama bertanya pada Beliau;
Apakah Engkau pernah bermimpi untuk duduk di kedudukan yang
Allãh tempatkan ini? Ketika (misalnya) Engkau mengemban agama ini, dan Engkau
sangat istimewa menjadi Orang pertama yang mendampingi Rasulullāh saw?
Kalau kita tanya demikian, maka pasti jawabannya:
"Tidak!". Dan pasti disebabkan oleh menjalankan perintah dan menjauhi
larangan Allãh. Dan andaikan kita tanyakan pada Sayyidina Umar ra Sayyidina
Utsmān ra Sayyidina Ali ra pasti jawaban Mereka sama. Maka saya harapkan
saudara-saudara memahami "kenyataan" ini.
Kita tahu bahwa kita sudah tidak lagi punya Daulah saat ini,
sebagai Daulah Islāmiyyah dengan arti yang "sempurna" seperti pada
masa ke-emasan Islam (Khulafā' Ar Rāsyidīn). Kita lihat tidak ada, padahal
jumlah umat Islam sudah sampai hitungan miliyar. Kenapa?
Sebab hasil (upah) perjuangan yang Sahabat Nabi bayarkan, bukan
untuk menegakkan Daulah Islāmiyyah, tapi semata-mata karena ingin ridha Allãh.
Nah, kita belum membayarkan (upah), karena kita lalai atau salah jalan dalam
membayarkan "upah" ini, kita menganggap "upah" adalah Daulah Islam
bukan keridhaan Allah yang didapat dengan menjalankan berbagai perintah Allah.
Meski ada yang menyebut daulah Islamiyah, namun bila kita mendalami makna butir-butir piagam madinah sebagai cikal-bakal pembentukkannya maka lebih relevan disebut dengan Negara Madinah, yaitu Negara Bhineka yang dibentuk dengan hukum kenegaraan.
Karena Piagam Madinah adalah Konsensus Negeri Madinah, yang memungkinkan atau di dalamnya ada pemberian ruang bagi siapapun untuk mengembangkan Agama Rasulullah saw tanpa mematikan orang yang beragama lain. Inilah contoh nyata dari Rasulullah saw, bukan dari orang lain.
Oleh karena itu, Daulah mengalami kemerosotan (untuk
mendapatkan Daulah seperti dahulu), dengan kemerosotan umat dari menjalankan
perintahnya, di dalam diri mereka, keluarga, dan masyarakat. Titik kesalahan
kita adalah; ketika kita berlagak mencari-cari di mana Daulah Islāmiyyah,
seperti mencari segudang harta yang hilang.
Untuk mengembalikan itu, kita harus kembali pada
"jalan" di mana sebab itu Daulah Islāmiyyah bisa tegak, sebagaimana
yang dilakukan oleh generasi pertama para Sahabat. Jadi barang siapa yang
(sungguh) berkeinginan mendirikan Daulah Islāmiyyah, hendaknya hilangkan dalam
hatinya hasrat untuk mendirikannya.
Tapi cobalah lihat pribadinya: sudahkan saya benar-benar
menjalankan penghambaan diri di hadapan Allãh swt? Sudahkan saya menjalankan
kewajiban atas saya, keluarga, dan masyarakat? Maka ia akan menemukan bahwa
ternyata dirinya banyak menemukan kelalaian di sana-sini.
Hendaknya kita lihat, sudahkan kita melaksanakan kewajiban
atas diri kita, keluarga kita (istri dan anak), dan saudara-saudara kita?
Sudahkah kita mengajak mereka kebaikan dan melarang dari kejelekan, kita
ingatkan pada Allãh, kita tanamkan cinta di hatinya pada Allãh, dan rasa takut
pada Allãh, tampa kita berfikir penegakan Daulah Islāmiyyah? Inilah sebetulnya
kewajiban umat Islam saat ini.
Bagaimana mungkin untuk mendirikan Daulah, sementara kita
lihat, di sekeliling kita, banyak kelompok-kelompok dengan segala dinamika
berfikirnya. Dan di dalam umat Islam sendiri, banyak sekali tumbuh faham-faham
yang saling bertentangan. Beginilah carut-marutnya kondisi kita saat ini.
Terus bagaimana bisa kita masih berfikir untuk menegakkan
Daulah, yang mana Daulah merupakan "tutup/pelindung" paling atas,
terhadap kondisi umat yang sudah makmur dan bermartabat? Bisakah kita menemukan
"tutup" sebelum kita temukan "wadah"?
"Tidak!" Jelas keliru ini.
Sudahlah. Kita tidak usah berfikir untuk mendirikan Daulah
Islāmiyyah, berfikirlah bagaimana Daulah ini bisa tegak di dalam diri kita
masing-masing.
Marilah kita tanamkan sifat "ubūdiyyah" dalam
kesadaran jiwa. Ubūdiyyah berbeda dengan ibadah. "Ibadah" adalah
perilaku manusia, sementara "ubūdiyyah" adalah keadaan yang menimpa
hati manusia itu sendiri. Ibadah yang tampa ubūdiyyah, tak ubahnya buah yang
ditempelkan pada pepohonan menggunakan tali. Maka kita katakan, itu adalah buah
yang tidak muncul dari pohon itu, tapi hanya ditempelkan. Dampaknya, ketika
ubūdiyyah ini ada dalam hati, maka kita merasakan takut pada Allãh dan cinta
pada Allãh.
Kita lihat, dan kita sadari, bahwa yang seperti ini telah
hilang dalam diri kita. Oleh karena itu, kita melihat, ada yang sudah shalat
lima waktu, puasa Ramadlan, dan Haji ke Baitullāh, tapi juga memakan harta
haram, dan masih berani melakukan perkara yang diharamkan. Sebab ibadah kita
lepas dari sifat "ubūdiyyah". Seperti inilah (ubūdiyyah) yang
dibayarkan oleh para Sahabat Nabi, sehingga Mereka dihadiahi Daulah Islāmiyyah.
Ada janji Allãh; apabila kita sudah menegakkan Daulah di
dalam rumah-rumah kita masing-masing, dan di dalam menjalani hubungan sesama
saudara (se-Iman), tapi ingat, bahwa kita melakukan itu bukan semata-mata ingin
menegakkan Daulah Islāmiyyah, tapi semata karena ridha Allãh, maka saya yakin,
bahwa Daulah akan tegak dengan sendirinya, sebagaimana yang terjadi di masa
Nabi Muhammad saw. di Madinah.
Tapi, apabila kita memaksa-maksakan, dengan mengatur langkah
dan menyediakan sistem, walaupun itu sangat mudah sebetulnya, bahkan kita sudah
sediakan kandidat ketua-nya, ini sangatlah mudah, sebab ini hanyalah urusan
teknis. Akan tetapi, di mana kita akan menemukan "substansi" dari itu
semua? Tidak ada apa-apanya.
Saat kita ingin menerapkan syari'ah Islam, misal contoh
kecil, hukum "Hudūd", maka kita akan menemukan penolakan luar biasa,
dan itu dari umat Islam sendiri, bahkan melebihi non-muslim banyaknya Muslim
yang menolak. Dan saat kita berfikir bagaimana kita bisa melaksanakan kewajiban
kepada kita (laki-laki atau perempuan) maka kita temukan "letupan"
bahwa islam menzalimi hak-hak perempuan. Ini nyata ada di tengah-tengah kita,
umat Islam.
Jadi, berfikir untuk mendirikan Daulah Islāmiyyah dengan
kenyataan umat Islam yang sekarang, bagaimana jadinya Daulah itu? Maka yang ada
hanyalah Daulah Islāmiyyah yang "palsu" yang sebetulnya tidak ada.
Kewajiban kita sebagai Muslim adalah duduk membangun dialog dengan mereka yang
belum masuk Islam, atau di antara mereka yang menyimpang dengan mengatasnamakan
banyak slogan-slogan. Ini kewajiban kita. Adakah kita sudah melakukannya?
Munkinkah Daulah Islāmiyyah ini dibangun di atas
kekosongan?
Apa yang sesungguhnya kita lakukan saat ini adalah,
bagaimana kita berjuang untuk dakwah di jalan Allãh, dan mampu memahami Islam
sebagai hakikat yang satu, tidak terbuai dengan beberapa
"ranting-ranting" yang justeru membuat kita terpecah belah.
Mungkin ada di antara kita yang merasa; bahwa mereka tidak
punya kemampuan untuk membangun dialog dengan mereka-mereka yang menyimpang
dari jalan Allãh dengan segala macam bentuknya mereka seakan minta dimaklumi
dari ketidakmampuannya tersebut. Karena tidak mampu malaksanakan perintah Allãh
dalam Al Quran (QS. An Nahl: 125):
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ
رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Dirasa aneh sekali, karena mereka tidak merasa punya uzur
(halangan) untuk tetap "bersemangat" menegakkan Daulah Islāmiyyah.
Mereka yang semangatnya melompat untuk mendirikan Daulah, sementara mereka
tidak mampu melontarkan sekata-duakata untuk dakwah di jalan Allãh, dengan
penuh rasa cinta dan kasih sayang kepada saudara-saudaranya yang menyimpang.
Semestinya jangan dulu ke tema "Menegakkan Daulah
Islāmiyyah" ketika kewajiban di depannya belum dilaksanakan secara
maksimal. Laksanakanlah perintah Nabi dalam Hadits:
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ , حَدَّثَنَا
صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ , حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ , حَدَّثَنِي
عَنْ عَمِّهِ عَمْرِو بْنِ جَارِيَةَ , عَنْ أَبِي أُمَيَّةَ الشَّعْبَانِيِّ ,قَالَ : أَتَيْتُ أَبَا ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيَّ , قَالَ : قُلْتُ : كَيْفَ
تَصْنَعُ فِي هَذِهِ الْآيَةِ , قَالَ : أَيَّةُ آيَةٍ , قُلْتُ : يَأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا
اهْتَدَيْتُمْ (سورة المائدة آية: ١٠٥) قَالَ : سَأَلْتَ عَنْهَا خَبِيرًا ,
سَأَلْتُ عَنْهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَقَالَ :
"بَلِ ائْتَمِرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنَاهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ , *حَتَّى
إِذَا رَأَيْتَ شُحًّا مُطَاعًا وَهَوًى مُتَّبَعًا , وَدُنْيَا مُؤْثَرَةً ,
وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيِهِ , وَرَأَيْتَ أَمْرًا لَا يَدَانِ لَكَ
بِهِ , فَعَلَيْكَ خُوَيْصَةَ نَفْسِكَ، وَدَعْ أَمْرَ الْعَوَامِّ* فَإِنَّ مِنْ
وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ ، الصَّبْرُ فِيهِنَّ مِثْلِ قَبْضٍ عَلَى
الْجَمْرِ , لِلْعَامِلِ فِيهِنَّ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلًا يَعْمَلُونَ
بِمِثْلِ عَمَلِهِ " (رواه ابن ماجه في سننه(
Maksud dari pada Hadits Nabi:
"فَعَلَيْكَ خُوَيْصَةَ نَفْسِك"
" ...... maka tetapilah kekhususan dirimu."
Maksudnya adalah; bagaimana kita lebih menfokuskan pada
keluarga kita, famili kita dan orang terdekat kita. Apakah kita tidak mampu
juga melakukan hal ini?
Saya tahu betul, mereka yang susah payah memikirkan dan
mengatur langkah-langkah untuk menegakkan Daulah Islāmiyyah, mereka tidak tahu
bagaimana masa depan anak-anak mereka, keluarga dan famili-famili mereka?
Artinya siapa yang menjadi tanggung jawab mereka secara pribadi (khāsshah),
yang telah Rasulullāh perintahkan pada mareka.
Munkin masih ada yang bertanya-tanya: "kalau begitu
kita pasif karena tidak melakukan apa-apa untuk kehidupan sosial kita"?
Maka pertanyaan saya: "Apa sebenarnya sosial itu?"
Bukankah sosial itu adalah kumpulan rumah tangga? Jadi apabila saya sudah
membenahi keluarga saya, dan anda juga, dia juga, dia juga, dan seterunya,
sudah membangun Daulah Islāmiyyah dalam lingkup kecil ini, maka bagaimana nanti
dampaknya? Pasti akan menciptakan kondisi sosial yang baik dari tumpuan banyak
rumah tangga yang sudah menanamkan nilai-nilai yang positif sesuai perintah
Nabi.
Kalau kita sudah menyadari kelemahan untuk menunaikan
kewajiban dalam pribadi kita, untuk menjadi seorang yang senantiasa mengajak
(dakwah) ke jalan Allãh di tengah-tengah kehidupan terdekat kita, maka ada
pintu yang selalu terbuka; iyalah pintu TOBAT kepada Allãh swt. untuk meminta
limpahan anugerah Allãh dan kasih sayang-Nya. Kita harus mempunyai waktu-waktu
khusus untuk melakukan ini semua.
Pintu ini apabila kita masuki, maka akan terlepas segala
persoalan kehidupan ini. Tapi ingat, jangan masuk pintu ini sementara yang
kalian minta adalah menegakkan Daulah Islāmiyyah. Tidak. Mintalah pada-Nya agar
senantiasa diberi kemampuan untuk melaksanakan kewajiban kita.
Sebetulnya hal
ini sangatlah mudah, dan tidak akan berpotensi diterjang gangguan arus politik,
birokratis, dan lain sebagainya. Inilah cara yang paling dekat untuk menuju
Allãh swt.
Wallãhu a'lam..
Link asli Youtube: https://youtu.be/gx71wKVcqys
Ahmad Nuriz Zain Tibyan
Komentar