Bagaimana Hukum dan Urgensi Mempelajari Bahasa Arab?
Mempelajari Bahasa Arab merupakan
kewajiban bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Wajib di sini
berarti sebagai kewajiban individual atau Fardhu ‘Ain dalam arti wajib bagi
setiap pribadi kecuali non muslim, anak-anak yang belum baligh, orang gila dan juga
orang yang terlahir dalam keadaan buta dan tuli karena tiada jalan baginya
untuk memahami dakwah islam meskipun dapat berbicara.
Khusus bagi Non Muslim tidak
wajib sebab mereka tidak dibebankan hukum syari’at di dunia namun tetap diminta
pertanggung jawaban kehidupan dunianya di akhirat. Atau dalam bahasa ringkasnya,
Non Muslim tidak ditaklif syariat di dunia akan tetapi ditaklif hukumnya di
akhirat kelak. Mereka tidak diwajibkan shalat, puasa dan kewajiban lainnya di
dunia namun tetap mendapat taklif hukumnya di akhirat nanti. Namun demikian,
apabila mereka melakukan kebaikan di dunia maka Allah tetap akan membalas
kebaikan tersebut di dunia.
Kewajiban mempelajari Bahasa Arab
yang fardhu ‘ain itu tidak lain karena termasuk ke dalam ‘ilmul haal, atau ilmu
hal-hal yang berkaitan dengan perintah, larangan dan wasilah yang selalu
dibutuhkan sebab memiliki relasi dengan ibadah fardhu ‘ain lainnya yaitu Shalat
Wajib yang 5 (lima) waktu.
Sedangkan mengkajinya lebih dalam
melalui ‘ilmul ‘arabiyah dan ilmu tajwid merupakan fardhu kifayah atau
kewajiban kolektif yang gugur tuntutan wajib tersebut apabila sudah ada orang
lain yang melaksanakannya seperti hukum menyelenggarakan pengurusan jenazah
yang 4 (empat) perkara. Apabila dalam suatu wilayah tidak ada satupun yang
mengerjakannya maka seluruh penduduk mukallaf di wilayah tersebut menanggung
dosa.
Meskipun hukum mempelajari ilmu
tajwid secara teori adalah fardhu kifayah namun penerapan saat membaca al-quran
adalah fardhu ‘ain. Dengan demikian, adanya beberapa orang yang membaca
al-Quran secara benar menurut ilmu tajwid bukan berarti menggunggurkan dosa
muslim lainnya yang membaca al-Quran dengan menabrak hukum-hukum tajwid. Setiap
individu diwajibkan membaca al-Quran menurut tatacara atau aturan dalam ilmu tajwid
akan tetapi tidak diwajibkan dengan fardhu ‘ain untuk mengerti teori, penamaan
klasifikasi ilmu tajwid seperti idgham, ikhfa’, idhhar, iqlab, mad ashli, mad
far’i, waqaf dan pembagiannya.
Adapun ‘Ilmul ‘arabiyah ini kegunaannya
untuk mendalami kandungan al-quran dan hadits, selain itu sangat juga sangat
dibutuhkan dalam menyebarkan dakwah islam, dan pada umumnya dapat pula
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah saw bersabda, “Pelajarilah
ilmu ‘arabiyah dan ajarkanlah kepada manusia.” Abdul Hamid bin Yahya juga
pernah berkata, “Pelajarilah bahasa arab karena bahasa arab menambah kepandaian.”
Ilmu Bahasa Arab ini dalam Kitab
Kawakib Ad-Durriyah terbagi menjadi 12 (dua belas) cabang ilmu lainnya, yaitu:
1. Ilmu Tashrif / Sharaf yang merupakan ilmu bahasa arab tentang perubahan
bentuk kata dan turut mengubah faedahnya
2. Ilmu Nahwu, yaitu ilmu tentang perubahan akhir kata
bahasa arab yang juga mengubah maknanya
3. Ilmu Ma’ani, yaitu Ilmu yang membahas susunan kalimat
dalam bahasa arab
4. Ilmu Bayan, adalah Ilmu yang membahas tentang kata yang
zhahir dan yang tersembunyi dan juga membahas tentang kiasan dan permisalan
kata
5. Ilmu Badi’, ialah ilmu yang menjelaskan bagaimana cara
berkalam bahasa arab dengan penuh keindahan
6. Ilmu 'Arudh, ialah ilmu yang membahas aturan bait-bait
sya’ir dalam bahasa arab
7. Ilmu Lughah, yaitu ilmu bahasa arab yang menjelaskan tata
bahasa arab
8. Ilmu Qard, merupakan ilmu yang membahas cara membuat dan
melantunkan syair berbahasa arab
9. Ilmu Insya’, adalah ilmu yang mengajarkan cara mengarang
dengan bahasa arab
10. Ilmu Kitabah, adalah ilmu yang membahas cara menulis
huruf arab
11. Ilmu Qira’at, adalah ilmu yang menjelaskan tata cara
membaca lafal arab
12. Ilmu Muhadharah, adalah ilmu yang membahas cara
mengajar, pidato, berbicara di depan umum
Mengenai 2 (dua) hukum wajib
tersebut, manakah yang lebih utama ditinjau dari pahalanya?
Sebagian ulama seperti Imam
Izuddin ibn Abdil Salam mengatakan, terkadang fardhu ‘ain lebih utama misalnya
dalam masalah keimanan. Sedangkan Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa
sebaik-baiknya kebaikan adalah yang bermanfaat bagi orang banyak.
Senada dengan
al-Ghazali, beberapa ulama lainnya seperti Abul Ishaq, Imam Haramain dan
Ayahnya berpendapat bahwa amalan fardhu kifayah lebih utama karena dengan
mengerjakannya maka dia telah menggugurkan terjadinya dosa bagi orang lain.
Terlepas dari pendapat di atas, mari kita tunaikan kewajiban-kewajiban tersebut
dengan benar sesuai ilmu dan ikhlas.
Komentar