Pengertian dan Landasan Hukum Kewarisan







Hijab
merupakan salah satu unsur dalam ilmu kewarisan Islam. Dalam Bahasa Arab, kata
kewarisan disebut dengan lafaz ”al-mirats” yang secara etimologi berarti berpindahnya
suatu benda dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum
lainnya. Sedangkan secara terminologi ialah berpindahnya hak kepemilikan dari
orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa uang, tanah, atau sesuatu yang berupa hak milik legal
secara syar'i.[1]




Ketentuan dan kewajiban membagi
warisan dalam syari’at Islam diatur berdasarkan al-Qur’an, Hadits Rasulullah
SAW, dan ijtihad para ulama. Di dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menyebutkan
tentang pembagian waris menurut hukum Islam. Khusus di dalam surat al-Nisa' ada
tiga ayat, yaitu ayat 11, 12 dan 176, sedangkan di dalam surat al-Anfal disebutkan
pada ayat 75. Selain itu, ada banyak hadits Nabi yang menjelaskan syari’at hukum
kewarisan Islam. Sehingga penjelasan tentang kasus-kasus kewarisan yang
tersebut dalam al-Qur’an menjadi lebih rinci dan mudah dipahami. Namun seiring
berjalannya waktu, muncul kasus-kasus yang belum pernah ada pada masa
Rasulullah SAW yang menuntut para ulama untuk berijtihad berdasarkan al-Qur’an
dan hadits
 Nabi  agar dapat dijadikan sebagai pegangan umat pada
masa itu.
[2]







Harta warisan tidak ditentukan kadarnya oleh pemilik
harta dan tidak dibagi kepada para ahli warisnya kecuali setelah dia meninggal
dunia. Sedangkan hibah dan wasiat,  justru
penetapannya dilakukan saat pemiliknya masih hidup. Harta hibah itu langsung
diserahkan saat itu juga, tidak menunggu sampai pemiliknya meninggal dunia.
Sedangkan wasiat ditentukan oleh pemilik harta pada saat masih hidup namun
perpindahan kepemilikannya baru terjadi saat dia meninggal dunia.[3]





Penerima warisan hanya
orang-orang yang terdapat di dalam daftar ahli waris dan tidak terhijab hirman serta tidak terhalang dengan
sifat-sifat terlarang. Sedangkan wasiat justru haram diserahkan kepada ahli
waris. Penerima wasiat harus seseorang yang tidak termasuk penerima harta warisan.
Namun hibah boleh diterima oleh ahli waris maupun bukan ahli waris dan telah
disetujui oleh seluruh ahli waris yang tertinggal. Hukum pembagian  warisan adalah wajib. Sedangkan hukum hibah dan
wasiat tergolong sunnah, namun penyerahan harta wasiat merupakan suatu
kewajiban.[4]




Besaran harta yang diwasiatkan tidak boleh melebihi 1/3 dari
nilai total harta peninggalan kecuali apabila disetujui seluruh ahli waris yang
tertinggal. Besaran hibah yang ditetapkan pemilik harta menjelang meninggal
dunia juga tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan, karena hibah di
sini merupakan
qiyas dari wasiat.
















[1]Ahmad
Sarwat, Fiqih Mawaris, Cet. IV, (Jakarta: DU Center, t.t.), hal. 29.




[2]Ahmad
Sarwat, Fiqih Mawaris…hal. 22.




[3]Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, Jilid II, (Semarang: Karya Toha Putra,
t.t.), hal. 66.




[4]Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri…hal. 66.






No comments

Powered by Blogger.