Pelaku Jihad Suriah Seolah Bukan Manusia Berakal








Sering dengar kalimat ini? "Syi'ah kafir, pembantai Ahlusunnah. Kita harus berjihad ke Suriah membela saudara-saudara kita kaum Ahlusunnah yang dibantai Rezim Syi'ah Assad yang mengaku Tuhan!"




Dan ketika seseorang meneriakkan itu biasanya dalam keadaan urat leher menegang, mata memerah, ludah beterbangan, bau mulut semerbak menyebar, dan dua tanduk tiba-tiba muncul, disertai size otak yang mengkerut.





Memang kalau sudah bicara fanatisme kelompok, orang-orang bisa hilang kewarasannya. Yang sebelumnya dokter, dosen, analis bahkan Professor pun bisa hilang akal sehatnya.






Mengapa tak pernah bertanya dan mencari tahu benarkah Rezim Suriah itu Rezim Syi'ah? Padahal mayoritas mutlak kabinetnya adalah para pejabat yang bermazhab Ahlusunnah. Bahkan benarkah Bashar Al Assad itu bermazhab Syi'ah? Kita bisa berdebat panjang soal ini.






Benarkah Assad mengaku Tuhan? Padahal sejak puluhan tahun ia berkuasa ia rutin menunaikan shalat hari raya diliput berbagai media. Ia rutin mengunjungi acara-acara di berbagai Masjid dan Gereja pada hari-hari besar keagamaan.



Bahkan tak peduli di saat konflik, ia tetap rutin muncul untuk menunaikan shalat Idul Fitri dan Idul Adha tanpa sekalipun absen, padahal puluhan ribu teroris asing yang menginvasi negaranya menjadikan ia sasaran penggal utama. Lho Tuhan kok masih shalat?






Benarkah ia pembantai Ahlusunnah? Sementara ulama-ulama yang dekat dengannya adalah para ulama besar Ahlusunnah seperti Alm. Syaikh Ramadan Al Buthi, Syaikh Dr. Taufiq Al-Bouthi, Syaikh Hosamuddin Farfur, Syaikh Syarif Shawaf, Dr. Muhammad Abdul Sattar el Sayyed, Syaikh Adnan Afyouni dan masih banyak lagi.



Bahkan penasihat utamanya yang menjadi Grand Mufti resmi Suriah adalah Syaikh Ahmad Badruddin Hassoun adalah ulama besar Ahlusunnah wal Jama'ah asli yang ulama sekelas Habib Ali al-Jufri pun pernah berguru pada ayah beliau.






Tidak usah lah membahas update geopolitik yang terlalu rumit bagi sebagian kalangan. Bahkan untuk hal-hal mendasar begitu saja mereka tertipu dan tak berjiwa kritis. Kalau sudah bicara hal-hal berbau agama dan "harga diri kelompok", manusia-manusia berakal jenis ini bisa menanggalkan kewarasan dan jiwa kritisnya.



Dalam mindset mereka, jalan Tuhan itu "klenik", taqlid dan harus meninggalkan akal, karena kalau pakai akal dan berani berpikir kritis itu artinya penentangan terhadap sakralitas agama.






Agama bagi mereka hanya setumpuk dalil-dalil naqli. Tak heran jika hal-hal yang menyenggol agama dan fanatisme mazhab, mereka akan kalah kritis dibanding anak-anak PAUD.


Mereka menganggap konflik Suriah adalah perang agama dan sektarian, padahal di Universitas manapun di dunia, pembahasan tentang Suriah adalah murni konstelasi Geopolitik, bukan agama. Bumbu agama dan sektarian hanya disebar untuk menidurkan akal masyarakat yang awam religius ini agar berhenti kritis soal konflik Suriah.

Ketika jemaah-jemaah golongan tersebut bicara tentang Suriah, inilah yang terjadi. Tak kenal latar belakang, siapapun anda akan mudah tertipu selama jiwa ashobiyyah, taqlid buta beragama dan jiwa kritis tertutup oleh fanatisme sempit yang meradang.









Kabar-kabar bohong dipercaya, foto-foto korban perang/pembunuhan/kecelakaan yang entah comot darimana bisa diklaim sebagai "Korban kekejaman Rezim Syiah Assad" yang kemudian disebar puluhan ribu kali oleh pengikutnya di berbagai media virtual melebihi kecepatan cahaya tanpa tabayyun.






Kabar-kabar "sotoy" yang sewarasnya hanya bisa ditelan anak pra-PAUD pun bisa dipercaya oleh orang sekelas Professor, seperti cerita Presiden Suriah mengaku Tuhan, isu Rezim hendak menggenosida kaum Ahlusunnah, mengebom sekolah dan RS-RS yang dibangunnya sendiri dll.






Jika biasanya orang-orang "intelek" ini ketika berbicara tentang sains, tekhnologi dll bisa begitu kritis dan ilmiah. Jika sudah mendengar kabar tentang Suriah dari kelompoknya sendiri akan langsung kalap.



Bagaimana ciri-ciri kalap? Hilang akal, emosi meninggi, akal sehat dan pola pikir kritis lenyap, disertai amukan-amukan dan racauan bagai orang kesurupan.






Menurut mereka, jika sudah berhubungan dengan agama, maka semua akal dan jiwa kritis harus disingkirkan, apalagi jika yang menyampaikan adalah ustadz-ustadz dan media-media "shahih" dari kelompoknya sendiri. Mereka lupa, syarat utama beragama adalah harus berakal sehat.






Mungkin inilah hal yang harus diintrospeksi dari pola pendidikan kita sejak dini. Begitu banyak orangtua yang mengajari anaknya membaca, tapi sedikit sekali yang mengajarkan anaknya untuk mempertanyakan semua yang mereka baca. Mereka tidak diajari mempertanyakan apa saja agar mereka menjadi generasi-generasi yang berpola pikir merdeka.






Mereka hanya diajarkan bahwa agama itu begitu sakral, jika engkau berpola pikir kritis sedikit saja apalagi terhadap hal-hal yang berhubungan dengan agama dan ghirah kemazhab-an maka itu adalah pembangkangan/kemurtadan terhadap agama.






Kalimat "Sami'na wa atha'na" (kami dengar dan kami taat) yang dulu hanya berlaku untuk Allah dan Rasul-Nya, kini juga berlaku bagi ustadz-ustadz takfiri karbitan penebar fitnah yang mereka kagumi.






Tidak heran ketika kita hari ini sudah sampai pada zaman dimana anak PAUD yang berpikir merdeka lebih bernilai daripada Professor yang terkungkung dalam tempurung ashobiyyah.






Berhati-hatilah terhadap sebuah bala yang kaum intelektual pun akan kehilangan akal sehatnya. Bala itu bernama ashobiyyah dan Takfirisme. Ironis memang.



(Ahmad Zain Muttaqin)


No comments

Powered by Blogger.