Sifat Shalat Nabi dan Rukun Shalat yang Terabaikan
Sujud merupakan salah satu rukun
shalat, bahkan inti dari shalat itu sendiri. Dalam al-Quran, tempat shalat
dinamakan dengan “Masjid” dan bentuk jamaknya adalah “Masaajid” yang secara
bahasa berarti “tempat sujud.”
Padahal di Masjid, kita tidak hanya sujud karena
shalat itu tidak hanya dengan membungkukkan badan dengan posisi dahi, dua
telapak tangan, dua lutut dan dua belah telapak jari kaki yang menempel pada
lantai.
Akan tetapi banyak perbuatan ataupun perkataan yang mesti dilakukan
dalam shalat bahkan yang hanya sekedar dianjurkan karena berstatus sebagai
sunnah, ditambah lagi dengan niat dengan hati dan upaya untuk mendapatkan khusyuk
yang merupakan hakikat shalat dengan menghadirkan hati yang fokus kepada shalat, yakni dengan cara tadabbur (menghayati) makna bacaan dan perbuatan
shalat.
Akan tetapi tetap saja dalam
al-quran, tempat shalat disebut masjid meskipun shalat memiliki banyak rukun
dan kesunnahan lainnya dan banyak pula ibadah lain yang bisa dikerjakan di
dalamnya seperti i’tikaf, membaca al-quran, belajar mengajar ilmu agama dan
lainnya. Hikmah dari semua itu tidak lain karena sujud memiliki urgensi yang
lebih dan makna penghambaan diri yang begitu nyata ketika bertawajjuh
kepadaNya dalam bentuk shalat.
Jika biasanya posisi kepala karena begitu terhormatnya berada pada
titik tertinggi namun dalam shalat, kepala sejajar dengan bagian bawah
jemari kaki di titik terbawah. Dan bila dibandingkan dengan ibadah lainnya,
shalat tentu saja memiliki sisi afdhaliyah yang lebih besar. Shalat lima waktu merupakan
ibadah yang paling pertama dihisab di Hari Kebangkitan kelak.
Bukti terhormat dan mulianya ra’sun
yang berarti “bagian kepala” bisa juga kita tinjau dari segi tata bahasa arab dengan
penyebutan lafal dhamir tazkir (kata ganti untuk laki-laki) meski kepala seorang
perempuan. Sedangkan bebarapa bagian tubuh lainnya menggunakan kata ganti taknis
(perempuan) meskipun organ itu pada lelaki. Berbeda dengan Bahasa Inggris yang
menggunakan kata ganti “it” karena dalam bahasa arab tidak memiliki kata ganti
yang khusus menunjukkan kepada suatu benda atau suatu unit yang bukan lelaki dan perempuan.
Hikmahnya, karena pada kepala, Allah
swt menempatkan beberapa juzu’ yang mulia seperti otak, mata, mulut dan
lainnya. Sebagaimana dimaklumi, walaupun Islam sangat meninggikan derajat kaum
wanita dan banyak wanita yang mulia dalam Islam seperti khadijah yang
pertama masuk islam, Ibunya Amar sebagai syahidah pertama dalam Islam dan siti hajar
yang pertama menduduki masjidil haram, namun derajat laki-laki setingkat di
atas perempuan. Oleh karena itu pula, kata ganti kepada Allah swt juga
menggunakan lafal tazkir (laki) meski Allah swt bukan lelaki karena bagiNya tidak
berlaku jenis kelamin.
Kembali ke masalah shalat,
seringkali kita mencukupkan belajar kaifiyah shalat pada level TPQ ataupun
Tsnawiyah padahal shalat memiliki rahasia-rahasia yang wajib diketahui demi
diterimanya ibadah yang menjadi tiangnya agama itu. Sekedar mengetahui
rukun-rukun shalat yang 13 (tiga belas) secara umum tidaklah cukup tanpa memahami
detil teknis mempraktikan ketiga belas rukun tersebut dengan benar.
Ada
beberapa hal yang seringkali luput dalam perhitungan dan perhatian kita yang bermazhab syafi’iyah,
misalnya kadar waktu minimal Thumakninah dalam ruku’, i’tidal, sujud itu sendiri dan duduk di
antara sujud juga dihitung sebagai rukun
shalat.
Ada Ulama yang menyebut thumakninah pada ke empat af’al tadi sebagai rukun yang
terpisah sehingga jika ditotalkan menjadi 17 (tujuh belas rukun shalat). Ulama yang menganggap rukun shalat
hanya tiga belas berarti menganggap Thumakninah merupakan bagian yang satu dari 4 rukun
fi’li tersebut.
Thumakninah itu berarti berhenti sejenak dengan kadar
waktu minimal setara dengan standar waktu yang dibutuhkan untuk membaca “Subhaanallaah”. Mengingat Allah (zikrullah) adalah substansi
dari Shalat. Tidaklah mengherankan jika frasa “Zikr Allah” sering disebut
berbarengan dengan kata yang terbentuk (tashrif) dari kata “Thumakninah” seperti “tathmainnu”.
Dan Thumakninah dalam sujud memiliki makna tersendiri karena sujud merupakan inti
dari shalat.
Selain kadar waktu minimal
thumakninah, rukun dari rukun sujud juga seringkali terabaikan. Kebanyakan
orang shalat mengetahui bahwa sujud merupakan rukun shalat, namun rukun dari
rukun itu kerap luput dari perhatian. Ada 7 (tujuh) anggota sujud yang disebutkan
dalam kitab Safinah An-Naja, yakni:
- Dahi;
- 2 (dua) telapak tangan;
- 2 (dua) lutut;
- 2 (dua) telapak jemari kaki.
Semua rukun sujud tersebut wajib
menyentuh tempat shalat meski hanya sebagian dahi, sebagian dari 2 belah telapak
tangan (misalnya; hanya 2 bathin jari telunjuk dari dua tangan), lutut dan
bathin jemari kaki. Yang seringkali terbaikan di sini, menurut perhatian penulis adalah
yang terakhir.
Ada yang hanya menyentuhkan bagian atas jari kaki ke tempat
shalat, bahkan ada sebagian yang sujud dengan posisi kaki terangkat dan
tidak menyentuh tempat shalat padahal menurut dhahir pengamatan penulis si
mushalli tidak sedang ‘uzur.
Mengenai rukun-rukun qauliyah (bacaan) disyaratkan dapat didengar sendiri seandainya tiada suara lain di sekitarnya.
Untuk lebih jelasnya, mari kita
saksikan tutorialnya dalam video yang dibimbing oleh Yang Mulia Habib Ali
Zainal Abidin.
Ust. Zainal Ma'arif: Problematika Shalat Berjamaah
Syarat menjadi imam adalah
pertama asalkan salatnya sendiri sudah sah menurut dirinya sendiri dan kedua
sah menurut makmum, maka dia bisa jadi imam untuk orang lain. Adapun jika
salatnya sah menurut Imam dan tidak sah menurut makmum, maka dalam Madzhab Syafi’i
ada dua pendapat yang keduanya bisa diambil.
Pendapat pertama: (Al’ibrah
bi’tiqadil makmum), maksudnya jika salat Imam menurut makmum tidak sah seperti
jika bacaan imam tidak fasih atau imam tidak membaca bismillah dalam fatihah,
maka bagi makmum yang fasih atau biasa dengan bismillah tidak sah salatnya jika
bermakmum dengan imam tersebut.
Pendapat kedua: (Al’ibrah bi’tiqadil
imam), maksudnya jika imam sudah sah menurut imam, maka siapapun boleh
bermakmum denganya, maka salat makmum tetap sah biarpun dia biasa membaca
bismillah dan imamnya ternyata tidak membacanya. Pendapat yang kedua inilah
yang lebih layak dihadirkan saat ini untuk meredam perdebatan.
Ada beberapa tatakrama jadi imam
yang harus diperhatikan diantarnya adalah tahu diri. Jika bacaan Anda tidak
bagus sementara ada orang yang lebih bagus atau anda ikut pendapat Imam Malik
yang mengatakan bismillah tidak wajib dibaca sementara makmum ikut pendapat
yang mewajibkan bismillah, maka janganlah Anda memaksakan diri jadi imam, sebab
hal itu hanya membuat gundah para makmum yang kebanyakan orang awam.
Sebaliknya
jika anda menemukam imam yang tidak bijak, maka anda jangan ikut-ikut tidak
bijak, ambilah pendapat kedua dan sahlah salat anda. Anak muda boleh jadi
imamnya orang yang sudah tua, asalkan jangan wanita jadi imamnya orang
laki-laki.
Wallahu a’lam bissawab.
Download kitab Matan Safinah An-Naja dan Syarah Kasifah As-Saja. Untuk terjemahannya bisa diunduh di sini sebagai penunjang. Dan tetaplah belajar secara talaqqi kepada guru yang alim.!
Komentar