Inilah Jawaban Bila Ada Pertanyaan, di manakah Allah?




Bila Allah di langit maka Astronot non-muslim lebih dekat kepada Allah dibanding muslim yang khidmat

bersujud di depan ka'bah. (Gambar: global.liputan6.com)




Sering kita temui pertanyaan-pertanyaan
berkaitan dengan keberadaan Allah swt. Pasalnya kita mendapati di Tempat
Pendidikan Anak Usia Dini ataupun di sekolah-sekolah yang berbasis wahabi dan salafi
diajarkan agar anak mengatakan "Allah di langit" dan mereka dilatih
setiap hari untuk membiasakan Hal itu.




Lalu bagaimana sebenarnya sikap
kita untuk mengajari dan menjelaskan perihal keberadaan Allah swt? Berikut
ulasannya.





Ketika ada anak kecil bertanya
dimanakah Allah berada?? tentu kita sebagai orang yang lebih dewasa haruslah
mengajarkan dengan kearifan dan sesuai akidah ahlussunnah wal jama'ah. Maka
kita ajarkan mereka untuk mengatakan, "Allah tidak seperti makhluk apapun
sebagaimana firmannya:





ليس كمثله شيء وهو على كل شيء قدير .





Dan kita juga perlu menjelaskan
pada anak tersebut bahwa seyogyanya kita tidak berfikiran tentang bagaimana
dzat Allah. dan lebih menekankan pengenalan ibadah ritual dan hal-hal yang
berkaitan dengan ciptaannnya karena makhluk adalah bukti adanya Tuhan. Sehingga
kelak akan menambah kadar keimanan si anak tersebut.





Sebagaimana yang dikatakan ulama:





تفكروا في خلق الله ولا تفكروا في ذات الله





"Berfikirlah tentang ciptaan Tuhan jangan berfikir tentang dzat tuhan yang maha esa."





Sebab kalau dibiarkan si anak
berfikir tentang sesuatu yang berkaitan dengan bentuk dan gerakan ini bisa
sangat membahayakan dan bisa menyebabkan penyerupaan Dzat Allah dengan
makhluknya.





Adapun mengenai pertanyaan
"Allah Dimana?" Sebagaimana dalam masalah akidah, maka kita harus
percaya bahwa Allah wajib (pada hukum ‘aqliy) bersifat wujud (ada) makna wajib
wujud bahwa ia tidak boleh binasa dan tidak bisa binasa secara azali maupun
abadi.



Bahwa adanya Allah bukan karena perantara suatu sebab, maksudnya tidak ada
yang bisa memberikan dampak pada keberadaan Allah swt kecuali Dia sendiri dan
tidak akan berpengaruh pada keberadaanNya dan sifatNya oleh suatu tempat dan
waktu.





Seandainya ada orang bertanya
"Allah Dimana??" Bertujuan menanyakan posisi dan arah maka sudah
pasti jawabannya membutuhkan penetapan suatu kondisi dan arah. Oleh karena
itulah kita tidak boleh bertanya dengan kalimat ini.



Sebab waktu dan ruang
adalah perkara yang baru dengan artian ketika kita menetapkan suatu waktu dan
ruang atas Dzat Allah maka kita telah membuat sesuatu yang tidak pantas bagi
dzatnya yang maha Qadim (tanpa awal). Bayangkan saja kita menganggap langit di atas
kita sementara yang di atas langit menganggap langit di bawahnya maka itu sama
sekali tidak pantas bagi dzat Allah Swt, Mustahil!!





Bukankah Allah itu Qadim (dahulu)
sedangkan ruang dan waktu itu Hadits (Baru)??? Kalau begitu tentu saja Allah
tidak mungkin serupa dengan makhluknya yang baru dan tidak butuh pada ruang dan
waktu.





Dan hukum bertanya dengan lafadz
"Aina Allah" (tuhan dimana) adalah tidak boleh.





Maka jawablah dengan
"Wallahu 'alam" ataupun “Mustahil”. Meskipun anda mengatakan tidak
tahu bukan berarti tidak bisa akan tetapi menurut ulama من قال لا اعلم وقد افتى .





"Barang siapa berkata
wallahu a'lam maka dia telah memberi fatwa." yaitu dengan mentafwidh
(memasrahkan) kepada Allah.





قال الحافظ البيهقي في كتابه الأسماء والصفات: استدل
بعض أصحابنا في نفي المكان عنه تعالى بقول النبي صلى الله عليه وسلم :"أنت الظاهر
فليس فوقك شىء وأنت الباطن فليس دونك شىء" وإذا لم يكن فوقه شىء ولا دونه شىء
لم يكن في مكان اهـ
.





Berkata Al Hafidz Al Baihaqi
dalam kitab Asma Wa Sifat: sebagian Sahabat kita bertendensi atas penafian
tempat bagi Allah swt dengan hadits nabi:



"Engkau yang maha dhahir tidak
ada di atasmu sesuatu, dan engkaulah yang maha Bathin dan tiada selainmu
sesuatu."



Dari konteks ini terbukti bahwasanya bila tidak ada sesuatu di atasNya
dan tidak ada sesuatu selainNya maka Ia tidak bertempat.





ومارواه البخاري وابن الجارود والبيهقي بالإسناد
الصحيح أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "كان الله ولم يكن شىء غيره"
ومعناه أن الله لم يزل موجودًا في الأزل ليس معه غيره لا ماء ولا هواء ولا أرض ولا
سماء ولا كرسيّ ولا عرش ولا إنس ولا جن ولاملائكة ولا زمان ولا مكان، فهو تعالى موجود
قبل المكان بلا مكان، وهو الذى خلق المكان فكيف يحل في مخلوقاته وكيف تحده مخلوقاته
؟
!!





Diriwayatkan dari bukhari, ibnu
jarud an baihaqi dengan sanad yang sahih bahwa Rasulullah s.a.w bersabda:
"Allah telah ada saat tidak ada sesuatu selainnya." Artinya Allah
sudah ada di azali dan tidak ada selainnya, tidak ada air, tidak ada udara,
tidak ada langit dan tidak ada bumi, tidak ada kursi, tidak ada arasy, tidak ada
Jin, tidak ada manusia, tidak ada malaikat, tidak ada waktu dan tempat. Dialah
Allah yang telah ada sebelum ada tempat karena Dia lah pencipta tempat.



Bagaimana
mungkin Dia Berada pada ciptaanNya dan bagaimana mungkin ciptaanNya menjadi
pembatasNya, karena sudah barang tentu yang namanya tempat akan membatasi yang
berada padanya.???!!!.





Oleh karena mustahil tempat
membatasi Allah swt maka mustahil Allah bertempat. Dan jika tiada yang
membatasi maka tidak berlaku arah bagiNya.





Sementara hadits pernyataan
seorang jariyah (seorang budak) yan disebut sebut mengatakan bahwa Allah di langit
imam nawawi berkomentar.





علق الإمام النووي رحمه الله على حديث الجارية في
شرحه على مسلم قائلا : (هذا الحديث من أحاديث الصِّفات، وفيها مذهبان تقدَّم ذكرهما
مرَّات في كتاب الإيمان
:





أحدهما: الإيمان به من غير خوض في (معناه)، مع اعتقاد أنَّ الله ليس كمثله شيء،وتنزيهه عن سمات المخلوقات.


والثَّاني:(تأويله) بما يليق به




فمن قال بهذا – أي التأويل - قال: كان المراد امتحانها
هل هي موحِّدة تقرُّ بأنَّ الخالق المدبِّر الفعَّال هو الله وحده، وهو الَّذي إذا
دعاه الدَّاعي استقبل السَّماء،كما إذاصلَّى المصلِّي استقبل الكعبة،وليس ذلك لأنَّه
منحصر في السَّماء، كما أنَّه ليس منحصراً في جهة الكعبة، بل ذلك لأنَّ السَّماء قبلة
الدَّاعين، كما أنَّ الكعبة قبلة المصلِّين
.




أو هي من عبدة الأوثان العابدين للأوثان الَّتي
بين أيديهم، فلمَّا قالت: في السَّماء علم أنَّها موحِّدة وليست عابدة للأوثان) انتهى
من شرح النووي على مسلم





Dalam memaknai hadits jariyah
maka bisa melalui dua metode yaitu;


Pertama dengan beriman tanpa
menelusuri maknanya (memasrahkan maknanya kepada Allah). Yang kedua dengan
mentakwil dengan sesuatu yang sesuai.





Lagi pula hadits jariah ini
banyak menimbulkan pertanyaan. Di antaranya apakah benar kadar ukuran Islam
seseorang dianggap hanya dengan mengatakan Allah dilangit?





Ihtimalnya bisa saja, Nabi ingin
memastikan apakah sang jariyah masih menuhankan patung Latta dan Uzza yang
berada di bumi.




Selanjutnya mengenai berdoa dengan mengangkat tangan ke langit, Kita bisa
mencontohkan orang shalat yang menghadap ka'bah, apakah Allah berada di dalam
ka'bah? Tidak!



Begitu pula dengan saat budak tadi menunjuk ke langit atau
saat orang berdoa mengangkat tangan kelangit belum tentu menunjukkan Allah
dilangit tidak sama sekali.





Adapun menghadap ka'bah sebagai kiblat
orang shalat.
Begitu juga menunjuk ke atas oleh budak tersebut sebagai kiblat
saat berdoa.





الكعبة قبلة الصلاة والسماء قبلة الدعاء





Tapi tetap saja Allah tidak
bertempat dan tidak menempati ruang.





Coba kita pakai mantiq (logika)
seandainya Allah berada di suatu tempat berarti Allah lebih kecil dari tempat
tersebut. Seperti air menempati gelas berarti ukuran gelas lebih besar dari
ukuran airnya Atau paling tidak gelasnya berukuran sama. Sedangkan jika Allah
dikatakan menempati ruang boleh dibilang Allah lebih kecil dari ruangan
tersebut padahal Allah Maha Besar.





Dan jika dikatakan Allah
bertempat dilangit apakah dibumi tidak ada tuhan???. Bagaimana dengan ayat
dalam surat azzukhruf 84:





وهو الذي في السمآء ءله وفي الارض اله وهو الحكيم
العليم





"Dialah tuhan (yang sembah
dilangit) Dia lah tuhan (yang disembah) di bumi dan Dialah Tuhan yang maha bijaksana
dan maha mengetahui."





Pada surat Arra'du dikatakan:
"Allah Subhaanahu wa Ta'aala memberitahukan bahwa Dia yang berhak
disembah. Baik di langit maupun di bumi. Oleh karena itu, penghuni langit
semuanya dan penduduk bumi yang beriman, mereka beribadah kepada-Nya,
mengagungkan-Nya, dan tunduk kepada kebesaran-Nya.



Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman, “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan
di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula)
bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (Ar Ra’d: 15)





Ayat di atas sama seperti
firman-Nya, “Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi.”
( Al An’aam: 3)





Yakni Dia yang disembah dan
dicintai baik di langit maupun di bumi. Dzat-Nya lah yang menguasai ‘Arsy, tidak
menyatu dengan makhluk-Nya, mandiri dengan keagungan-Nya dan mulia dengan
kesempurnaan-Nya.



Bila dipaksakan menyatakan Allah swt di langit maka dhahir makna ayat dan hadits mutasyabihat akan saling bertentangan satu dengan lainnya. Berikut ini kami sajikan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut:




Dan kepunyaan Allah-lah timur dan
barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al Baqarah 115)





Dhahir makna ayat di atas, Allah
ada di mana-mana, ke manapun berpaling pasti ada Allah.





“Dan Ibrahim berkata,
“Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku
petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).





Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim
alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim
alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini
menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di
Palestina.





Sedangkan dhahir makna hadits tentang
Jariyah menyebutkan Allah ada di langit. Ayat tentang Istawa' menyebutkan Allah ada di atas ‘Arsy. Dan dalam hadits berikut Allah justru naik
turun pada belahan bumi tertentu,







انَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ
: يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ,
مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ







Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap
malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir, (kemudian) Dia berfirman:



"Barang
siapa berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan, barang siapa meminta
kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan, dan barang siapa memohon ampun kepada-Ku,
niscaya akan Aku ampuni.”








Jadi bisa kita simpulkan bahwa
Allah ada tanpa tempat sebagai tanzih atas penyerupaan Allah dengan makhlukNya. [Moh Nasirul Haq, Tarim. 11 syawal 1437 H]




Hadits Turunnya Allah Setiap Sepertiga Malam Terakhir



No comments

Powered by Blogger.