Urgensi Ilmu Alat, Penunjang Ilmu Tafsir Alquran dan Hadits
Saat memperbaiki kendaraan yang
rusak di sebuah bengkel, saya melihat "ilmu alat" yang mereka miliki
lumayan lengkap. Tentu tidak semua bengkel memiliki peralatan yang lengkap dan
tidak semua mekanik mampu mengoperasikan semua alat itu. Tingkat kemahiran
mekanik berbeda-beda sebagaimana tingkat kelengkapan alat di sebuah bengkel
juga berbeda.
Apabila kendaraan saja -yang
notabene adalah perkara dunia- mesti ditangani oleh ahli yang menguasai
"ilmu alat", maka ilmu agama yang ianya merupakan bekal menuju
akhirat tentu lebih mesti lagi ditangani oleh ahli yang juga menguasai
"ilmu alat".
Ahli itulah yang namanya ulama.
Dengan ilmu alat yang mereka kuasai, para ulama mengkolaborasi Al Qur'an dan
hadits secara tahqiq dan tadqiq, sehingga lahirlah kitab-kitab kuning yang
dapat kita nikmati hari ini.
Saya rasa, belum ada pihak yang
melarang dan meremehkan orang-orang yang membawa kendaraannya yang rusak ke
bengkel dengan alasan mekanik di bengkel adalah manusia biasa yang sama seperti
kita.
Maka sangat aneh dan irrasional
bila ada pihak yang secara gamblang melarang dan meremehkan orang orang yang
berpedoman kepada kitab kuning, dengan alasan kitab kuning itu karangan manusia
biasa sama seperti kita. "Lebih baik kita kembali saja langsung kepada Al
Qur'an dan hadits, jangan menjadikan kitab kuning seperti kitab suci" kata
mereka.
Tampaknya, kalangan ini bila
kendaraannya rusak langsung "berijtihad" untuk memperbaikinya sendiri
di rumah pakai pisau dapur atau obeng rakitan padahal bisa saja mereka langsung
membawa kendaraan itu ke pabriknya (service center) atau membawa ke bengkel terpercaya.
Tapi hal itu tidak mereka
lakukan, meski mereka tahu bahwa mereka bukan ahli mekanik yang handal, mereka
takut kendaraannya tambah rusak dan bila dikembalikan langsung ke pabriknya
akan memakan waktu lama dan biaya besar yang bisa saja melampaui ongkos
perbaikan normal.
Lantas, mengapa mereka tidak
merasa takut untuk memahami langsung Al Qur'an dan hadits dengan "ijtihadnya"
sendiri dan menyepelekan kitab-kitab karangan ulama? Siapa lebih ahli ilmu alat
dalam memahami Al Qur'an dan hadits, generasi kita atau generasi pengarang
kitab kuning?
Hendaknya bila ada persoalan menyangkut Syari'at, minimal mengkonsultasikan kepada ulama mu'tabar. Dan sebaiknya mempelajari dengan sungguh-sungguh meski harus tinggal di tempat khusus seperti di pondok pesantren. Inilah modal utama menuntut ilmu menurut Imam Syafi'i:
“Wahai saudaraku… ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan (biaya), (5) bersahabat (baca: belajar) dengan Guru (6) membutuhkan waktu yang lama.”
Mengapa Ilmu Alat itu sangatlah penting?
Mungkinkah seseorang dapat
memperbaiki kerusakan mesin pesawat yang begitu rumit dengan tangan kosong atau
dengan peralatan seadanya seperti pisau dapur? Akal yang normal akan menjawab, “Hampir
mustahil hal itu bisa terjadi.” Karena jangankan memperbaiki, membongkar atau
melepas suatu bagian untuk menjangkau bagian yang lebih dalam saja tidak bisa
dilakukan hanya dengan bermodalkan kekuatan tangan tanpa alat.
Begitu pula untuk mengupas makna
kandungan Al-Quran dan Hadits dengan segala kerumitan yang sangat kompleks dan ditambah
lagi minimnya pengetahuan tentang asbabun nuzul dan asbabul wurud keduanya, tentu tidak
cukup hanya dengan bermodalkan kekuatan pikiran semata, meskipun dibekali Alquran dan Hadits terjemahan ataupun mampu bercakap dengan bahasa
arab.
Hal itu terbukti, banyak orang
arab yang fasih berbicara bahasa arab tapi lemah dalam pemahaman ayat alquran
maupun hadits. Tidak hanya ummat sekarang ini, dari sekian banyak shahabat Nabi
yang mulia, hanya sebagian saja yang mampu menguasai penafsiran ayat Alquran
dan Hukum dalam Hadits Nabi dengan baik. Senada dengan ulama-ulama sesudahnya
seperti Imam Syafi’i yang tidak lain merupakan pencetus ilmu Ushul Fiqh. Beliau adalah
orang arab tapi butuh waktu berpuluh tahun untuk mendalami Ilmu Tata Bahasa Arab.
Adapun Ilmu Alat yang dimaksud di
sini di antaranya adalah Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Bayan, Ilmu Ma’ani, ilmu Badi’,
Ilmu Manthiq (Kasyfi) dan sebagainya. Lima ilmu tersebut di awal merupakan ilmu
tata bahasa arab, sedangkan ilmu manthiq merupakan Mi’yarul ‘Ulum atau
timbangan dari segala ilmu yang bertujuan untuk mencegah kesalahan saat
pengambilan kesimpulan dalam berfikir.
Layaknya kemunculan ilmu tasawwuf
karena mulai merebaknya kecenderungan di kalangan ummat Islam kepada hal-hal
yang berorientasi (mengarah) kepada yang sifatnya duniawi, ilmu-ilmu alat
seperti ilmu nahwu disusun dengan konsep yang padu juga karena adanya sebab. Yaitu
ketika ada orang arab yang keliru dalam melafalkan bahasa arab yang berakibat
salahnya pemahaman si pendengar, sehingga diperintahlah Abul Aswad Ad-Dualy
oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menyusun konsep-konsep ilmu nahwu untuk mencegah rusaknya Tatanan Bahasa Arab itu sendiri.
(Disarikan dari Dokumen Tgk. Mahfudh Muhammad Ahmad)
Komentar