Tawadhu' Imam Ghazali dalam Kitab Maraqi al-Ubudiyah
Jika engkau melihat anak kecil, katakanlah dalam hatimu:
"Ia belum pernah bermaksiat kepada Allah, sedangkan aku telah bermaksiat.
Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku".
Jika engkau melihat
orang yang lebih tua katakanlah: "Orang ini telah beribadah sebelum aku
melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku".
Jika
melihat orang alim (pandai), katakanlah: "Orang ini telah memperoleh apa
yang belum aku peroleh. Maka, bagaimana aku setara dengannya?".
Jika dia
bodoh, katakan dalam hatimu: "Orang ini bermaksiat dalam kebodohan,
sedangkan aku bermaksiat dalam keadaan tahu. Maka, hujjah Allah terhadap diriku
lebih kuat, dan aku tidak tahu bagaimana akhir hidupnya dan akhir
hidupku."
Jika orang itu kafir, katakanlah: "Aku tidak tahu, bisa
saja dia menjadi Muslim dan akhir hidupnya ditutup dengan amalan yang baik dan husnul khatimah.
Dan
dengan keislamannya, dosanya diampuni. Sedangkan aku, aku berlindung kepada
Allah dari hal ini, bisa saja Allah menyesatkanku hingga aku kufur dan menutup
usia dengan amalan keburukan. Sehingga ia kelak termasuk mereka yang dekat
dengan rahmat sedangkan aku jauh darinya".
Suatu hari, Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa Allahu Yarham
bersilaturrahim ke Al-Marhum Kyai Idris Marzuqi di kediaman komplek aula
Al-Muktamar Ponpes Lirboyo untuk menyampaikan undangan Tabligh Akbar Majelis
Rasulullah di Monas.
Dalam kesempatan itu sebenarnya Habib Munzir dalam kondisi
kurang sehat dan soal undangan Tabligh Akbar sebetulnya bisa diamanatkan pada
utusan atau dikirim via pos. Tapi demi ta’dhim pada Ayahanda Mbah Idris,
demikian Habib Munzir biasa memanggil Al-Marhum Romo Yai Idris Marzuqi.
Maka
dari Jakarta beliau memaksakan diri melakukan perjalanan darat sowan ke Lirboyo
Kediri yang diteruskan ke Langitan Tuban untuk menyampaikan undangan acara
tersebut pada Mbah Idris Lirboyo dan Mbah Faqih Langitan.
Di halaman kediaman, Al-Marhum Romo Yai Idris Marzuqi dengan
penuh tawadhu’ dan penghormatan menyambut kedatangan Al-Marhum Al-Habib Munzir
Al-Musawa dengan tanpa menggunakan alas kaki. Dalam kacamata adab, melepaskan
alas kaki adalah simbol ketawadhuan dan penghormatan.
Sebagaimana Syaikh Ihsan Dahlan Jampes yang melepaskan
sandal ketika mau sowan (bertemu) gurunya beberapa puluh meter sebelum sampai ndalem (tempat) Sang
Guru. Seakan demi untuk menghormati kedatangan cucu Rosulillah SAW. Beliau
Al-Marhum Romo Yai Idris melepaskan semua kebesaran sebagai Kyainya ribuan
santri dan alumni yang telah menjadi para Kyai di Nusantara.
Di sisi lain tampak dalam gambar, Al-Habib Munzir berusaha
bertabarruk mencium tangan Romo Yai Idris. Seakan beliau membuang semua
kebesaran diri di hadapan ulama yang beliau anggap sebagai Guru. Padahal beliau
adalah habib yang sangat alim dan mulia dengan jutaan muhibbin di Indonesia.
Habib dengan penuh ketawadhu’annya diterima di Lirboyo oleh
Mbah Idris dan terlihat jelas bahwa perjumpaan itu adalah BERTEMUNYA DUA
PRIBADI YANG SALING MENCINTAI KARENA ALLOH. Sebagai bukti tawadhu’ yang luar
biasa, selaku tamu justru dengan ta’zhimnya Habib Munzir menuangkan minuman
untuk Mbah Idris.
Setelah keperluan sowan dianggap cukup, Habib Munzir mohon
pamit ke Mbah Idris untuk melanjutkan perjalanan menuju Langitan Tuban. Dan
yang tidak pernah terbayangkan oleh siapapun adalah setelah saling sungkem
tangan, Habib Munzir berjalan mundur dari hadapan Mbah Idris menuju pintu
keluar ndalem karena tidak ingin istidbar dan membelakangi Mbah Idris.
Atas hal itu, Mbah Idris dawuh, “Habib sing alim tur
tawadhu’ niku medheni tur nyungkani.” (Habib yang alim nan tawadhu’ itu membuat
segan dan sungkan).
Rasanya adem-ayem tur tentrem kalau melihat Habaib yang
mengajarkan ta'dhim dan cinta terhadap Ulama dan Ulama yang mengajarkan cinta
dan ta'dhim terhadap Habaib. Dan mungkin keakraban antara Habaib dan Ulama
inilah yang paling ditakuti oleh sekelompok golongan. Sehingga mereka berusaha
memisahkan dan merusaknya.
Setidaknya sudah ada beberapa kejadian yang mengarah kesana.
Terbukti sudah mulai ada oknum-oknum yang tanpa merasa berdosa mengaku cinta
Habaib tapi berani mengumpat Ulama. Sebagaimana ada oknum-oknum yg mengaku
santri / NU / pengikut Kyai tapi kok berani mengumpat Habaib.
Semoga kita semua termasuk orang-orang mencintai Ulama dan
Habaib. Tidak hanya mencintai dengan rasa, namun semoga kita semua dapat
meneladani Ulama dan Habaib. Aamiin.
Komentar