Peringatan Bagi Pelajar Ilmu Agama Secara Otodidak
Belajar hadits secara instan
lewat sarana elektronik memang memudahkan. Zaman yang serba canggih, semua
informasi mudah didapatkan dan dipelajari. Begitu juga tentang materi-materi
agama, khusus untuk kajian agama –memang sangatlah diperlukan- ada satu
perlakuan khusus dan adab dalam mempelajarinya terutama yang berkaitan dengan
nash-nash sumber hukum Islam mutlak seperti ayat Al-quran dan al-hadits.
Maksud ‘menyesatkan’ disini
adalah kurang memahami atau bahkan salah paham terhadap apa yang dimaksudkan
oleh lisan Nabi Muhammad -salallahu alaihi wassalam.
Inilah kenapa ulama Aswaja tidak
mudah mengeluarkan dalil, karena mereka tau audiens nya orang awam.
Karena dalam mendalami hadits, seseorang
minimal sudah memahami ayat al-quran, ulumul hadits (mustolahat hadits),
asbabul-wurud al-hadits, paham fiqh dasar, dan ada guru yang membimbing. Guru
yang membimbing pun benar-benar orang yang bisa dipertanggungjawabkan
keilmuannya haditsnya, berakhlak mulia, bertaqwa, wara’, dan benar-benar tsiqah
(terpercaya).
Sudah menjadi ketetapan Allah
ta’ala, bahwasanya ilmu agamanya akan dijaga oleh orang-orang yang diberi
kepahaman agama yang lebih, maka tugas kita sebagai ‘santri’ selayaknya
bertanya dan bertanya kepada orang yang lebih tahu, dalam hal ini para ulama’.
Sebagaimana dalam al-quran, Allah menasehati kita:
فاسألوا اهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Hendaklah kalian bertanya kepada
orang yang mengetahui jika kalian tidak mengetahui. (QS. An-Nahl 16: 43).
Ketika orang awam membaca suatu
hadits -bahkan yang berderajat shahih sekali pun- dikarenakan ia tidak pernah
belajar ‘syarah’ dan ulumul hadits dari guru yang bersanad, maka sangat
dikhawatirkan ia akan dengan mudah menginstinbath hukum dari teks hadits sesuai
pemikirannya sendiri.
Hal inilah yang dikhawatirkan
oleh para ulama, karena suatu hadits terkadang sudah ter-mansukh (terhapus
dengan hadits yang lain yang menjadi nashikh-nya), atau hadits tersebut
bersifat umum (‘am/general) yang perlu di-takhshis (dirinci) keterangannya
lebih lanjut oleh hadits yang lain, atau bahkan terkadang secara dzahir
haditsnya (leterlijk-nya) seolah-olah bertentangan dengan hadits yang lainnya,
padahal tidak demikian; atau ditemukan hadits dha’if –karena ketidaktahuannya-
sehingga ia serta-merta meninggalkannya, padahal hadits dhaif tersebut masih
bisa diangkat derajatnya dengan beberapa syarat, atau hadits dhaif tersebut
masih bisa dimanfaatkan sebagai fadha-il amal.
Akibat tidak memiliki adab ini
dalam mempelajari hadits, akhir-akhir ini muncul orang-orang akhir zaman yang
suka menyalahkan pendapat ulama besar seperti pendapat para imam besar
sekaliber Imam As-Syafi’i atau Imam Al-Ghazali, bahkan kitab hadits shahih para
mualif kutubus-sittah, pun dikritik dan didha’ifkan. Golongan orang yang
‘bingung’ ini mudah membid’ahkan dan menyalahkan kaum muslimin yang berbeda
pendapat dengannya.
Oleh karena itu, saya turut
prihatin dan menyarankan agar para ‘pecinta hadits’ di dimanapun itu agar lebih
konprehensif dalam mempelajari hadits. Usahakan dekat dengan ulama dalam
memahami hadits, jangan gegabah dalam memutuskan suatu hal dalam syariat agama
yang mulia ini.
Intinya jangan hanya membaca
hadits lewat sarana-sarana instans -seperti software, buku terjemahan, e-book
dsb- tanpa bimbingan guru yang kompeten, serta usahakan tetap dalam adab ketika
membuka file-file hadits. Saya tidak mengatakan bahwa semua sarana instan itu
tidak bermanfaat sama sekali, tetapi setiap perkara yang instan ada dampak
negatifnya jika tidak bijak dan hati-hati dalam memanfaatkannya.
Wallahu a’lam.
Komentar