Merasa Lebih Paham Bid'ah dari Ulama Otentik?







Telah lebih dari 1190 tahun sejak
kewafatannya, sumbangan besar al-Imam Asy-Syafi`i dalam ilmu Usul Fiqih
ialah pembagian beliau terhadap makna ‘perkara baru’ (Bid‘ah) menjadi dua hal
pokok, bid’ah hasanah dan sayyiah.




Bahkan al- Imam Nawawi membaginya
dalam 5 status hukum.





أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة
ومباحة





Sesungguhnya bid’ah terbagi
menjadi 5 macam: bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah
yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah).” [Syarh
An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]





Pembagian bid’ah menjadi dua oleh
Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan
ahli fikih empat mazhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai
disiplin ilmu.





Di antara mereka adalah para
ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah,
al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di
antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih
as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa
sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.





Syaikhul Islam Sulthanul-Ulama’
al-Imam al-`Izz Ibnu Abdissalam juga menjelaskan tentang masalah bid’ah, beliau
berkata: “Di sana ada beberapa macam perkara baru (Bid‘ah).





Pertama, perkara yang tidak
dilakukan dalam Islam namun syari‘at menyatakannya sebagai hal terpuji, bahkan
ada yang dinyatakan wajib.





Kedua, perkara yang tidak
dilakukan dalam Islam namun syari‘at membenci dan mengharamkannya.





Ketiga, perkara yang tidak
dilakukan dalam Islam dan syari‘at membolehkannya”. Dalam kesempatan lain
beliau menyebutkan bahwa Bid‘ah itu ada lima macam, sama dengan lima hukum yang
simpulkan oleh ulama fiqih untuk hal perbuatan manusia, yaitu wajib, haram,
sunnah (mandub), makruh dan mubah (boleh).





Ulama dari empat madzhab telah
sepakat dengan klasifikasi Bid’ah terbagi pada lima hukum seperti yang
dikemukakan oleh al-Imam al-Izz bin Abdissalam, seperti yang telah kami
sebutkan sebelumnya.





Ulama dari empat madzhab telah sepakat
dengan klasifikasi Bid’ah terbagi pada lima hukum seperti yang dikemukakan oleh
al-Imam al-Izz bin Abdissalam. Berikut diantara Ulama dari empat madzhab yang
berpendapat demikian:





Dari madzhab Hanafi: Al-Kirmani,
Ibnu Abidin, at-Turkmani, al-`Aini danat-Tahanawi.





Dari madzhab Maliki: at-Turtusyi,
Ibnul-Hajj, al-Qarafi dan az-Zurqani. Tidak termasuk asy-Syathibi. Pendapat
asy-Syathibi inilah yang kemudian diangkat oleh Rasyid Ridha, Salim Hilali dan
Muhammad Abdussalam Khadir asy-Syuqairi (murid Rasyid Ridha). Asy-Syuqairi
menulis buku berjudul as-Sunanwal-Mubtada`at al-Muta`alliqah bil-Adzkar
wash-Shalawat yang di penuhi dengan berbagai riwayat tidak shahih.





Darimadzhab asy-Syafi’i: Semua
berpendapat sama.





Darimadzab Hanbali: Generasi
salaf telah sepakat dengan pendapat asy-Syafi’i.Kemudian dari kalangan
muta’akhirin mencoba mengingkarinya dengan mengatakanbahwa pembagian syafi’i
dan Izzudin terhadap bid’ah adalah dari segibahasa.





Dan pembagian bid’ah menurut
bahasa adalah pendekatan yang seringdibawakan oleh golongan anti Bid’ah Hasanah
untuk mendukung pendapat mereka.Mereka tetap bersikukuh bahwa semua “Bid’ah”
(termasuk Bid’ah Hasanah) adalah sesat, meskipun pendapat itu bertentangan
dengan realitas dan pendapat jumhur ulama.





Demikianlah pendapat para imam
besaryang telah terekam dalam berbagai kitab turats (klasik). Masih banyak lagi
yangtidak sempat terekam pendapatnya, karena memang ketika itu penulisan
kitabtidak semudah sekarang.





Setidaknya, ketika mereka diam
berarti mereka setuju, karena kalau memang mereka menganggap pendapat
asy-Syafi’i sebagai kesesatan, maka tidaklah mungkin mereka diam saja tanpa
menulis buku kritikan. Pendapat asy-Syafi’i diterima oleh ulama di zaman beliau
hingga ulama berikutnya. Barulah pada abad akhir ini muncul segolongan ulama
yang menyalahkan pendapat para Imam besar hujatul-Islam tersebut, bahkan berani
menganggap pendapat mereka sesat.





Saudaraku, Ketika kita sama-sama berguru
dan berpendapat menurut guru, maka bersyukurlah karena kita berguru pada
Imam-imam besar seperti asy-Syafi’i sang perintis madzhab, an-Nawawi sang ahli
Hadits penulis Syarah Shahih Muslim, al-Ghazali sang Hujjah penulis Ihya Ulumiddin,
al-Baihaqi sang ahli dan perawi Hadits, as-Suyuthi sang pakar berbagai
disipliln Ilmu Islam, al-Asqalani sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih
al-Bukhari, al-Qurthubi sang pakar dan penulis kitab Tafsir, al-Qusthallani
sang ahli Hadits penuli Syarah Shahih al-Bukhari dan sebagainya.





Kalau guru-guru kita itu dianggap
sesat. Lalu siapa ulama yang bisa dibanggakan oleh umat Islam. Mereka
yangdianggap sesat itu telah mengharumkan nama Islam dengan pemikiran
dankarya-karya mereka.





Coba kita tanyakan pada hati
kita, seandainya kita harus memilih, siapa yang sebaiknya tidak pernah hidup di
dunia ini, apakah asy-Syafi’i dan sebagainya atau ulama abad ini yang
menganggap asy-Syafi’I sesat?





Apa yang kita miliki kalau kita
mencoret nama-nama mereka dan membuang karya-karya mereka dari rak buku kita.
Apa yang tersisa dari khazanah keilmuanIslam kalau kita membuang kitab-kitab
asy-Syafi’i, Syarah Shahih Muslim (an-Nawawi) kitab Ihya’ Ulumiddin, Fathul
Bari, Irsyadus sari, Syarah Muwattha’ (az-Zarqani), Syarhul-Misykah dan
sebagainya. Kalau mereka dianggap sesat dan karya-karya mereka dicekal, maka
yang tersisa dari kekayaan umat Islam adalah ulama pencaci maki dan buku-buku
yang dipenuhi dengan mengupat ulama salaf.”





Syekh Abdurrahman bin Mahdi
berkata: “Seorang ulama tidaklah bisa disebut Imam (rujukan) dalam sebuah
disiplin ilmu, apabila ia masih mengikuti pendapat yang ganjil (menyalahi
pendapat yang lebih masyhur di kalangan Imam-imam besar).”





Dengan demikian bila ada orang
yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah
menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari
sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara
semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?!





Tentu terbalik, dia sendiri yang
sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang
“keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal
dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami
al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para
ulama Hadits, Fikih dan lainnya?!





Wallahu A'lam Bish Shawab

No comments

Powered by Blogger.