Benarkah Ucapan "Minal 'Aidin wal Faizin" Terlarang?







Jika akhir-akhir ini berseliweran viral yang mengesankan
bahwa ucapan “minal ‘aidin wal faizin” tidak patut bahkan terlarang maka ada
baiknya dikaji kembali makna dan dalilnya agar tidak memunculkan pemahaman
prematur yang membingungkan sekaligus meresahkan masyarakat sehingga berimbas
terkotak-kotaknya lingkungan sosial yang mengikis persatuan umat islam itu
sendiri.




Dalam ilmu Ushul Fiqh disebutkan bahwa memahami
makna teks dan konteks yang terkandung dalam suatu ibarat (ungkapan) merupakan
induk dari penetapan suatu hukum. Penetapan suatu hukum itu hanya bisa terjadi setelah memahami makna afrad atau lafaz-lafaz yang menuyusun suatu kalimat. 





Hanya berlandas pada makna tekstual saja akan
melahirkan pemahaman yang kering dan prematur. Pun hanya berpegang pada makna
kontekstual sangat rentan mengeluarkan kesimpulan dari jalur yang benar. Harmoni
antara kedua makna itulah yang menunjang munculnya pemahaman yang utuh dan akurat.





Menurut sang ustad yang mempermasalahkan “minal ‘aidin wal
faizin”, ucapan yang benar adalah “Taqabbalallahu minna wa minkum” karena telah
dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw. Sedangkan ucapan yang telah menjadi
tradisi di nusantara seperti “selamat hari raya, mohon maaf  lahir dan bathin, minal ‘aidin wal faizin”
tidak ada legalitas dari Rasulullah saw. 





Di samping itu ucapan semacam itu tidak bisa dipahami
dengan benar karena bisa saja dimaknai dengan “kembali
pada kemaksiatan sebelum ramadhan, meraih kemenangan atas bulan Ramadhan
sehingga kita bisa kembali berbuat keburukan.” Anak kecil yang bodoh pun tidak
akan mau mengucapkannya kalau maknanya seperti itu.





Berikut jawaban atas keluh
kesah sang ustadz:





Ucapan selamat atau Tahniah atas
datangnya momen tertentu telah menjadi suatu tradisi atau adat yang selalu
berbeda-beda di tiap masyarakat. Sementara hukum asal atas suatu adat adalah
boleh, selagi tidak ada dalil tertentu yang mengubah dari hukum asli ini. Hal
ini juga merupakan madzhabnya Imam Ahmad. Mayoritas ulama menyatakan, ucapan
selamat pada hari raya hukumnya adalah ibahah/boleh (lihat: al-Adab
al-Syar'iyah, jilid 3, hal. 219).





Al-Hafizh Ibnu Hajar
menjelaskan, ucapan selamat (tahniah) secara umum diperbolehkan, karena adanya
nikmat, atau terhindar dari suatu musibah, dianalogikan dengan validitas sujud
syukur dan ta'ziyah (lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid 14, hal
99-100).





Berdasarkan keterangan di atas,
maka setiap ucapan baik, apalagi merupakan doa, dalam momen nikmat atau bahkan
musibah, adalah sesuatu yang boleh, bahkan baik untuk dilakukan. Dengan kalam
lain, ucapan di Idul Fitri yang biasa diucapkan diantara sebagian sahabat
memang 'taqabbalallahu minna wa minkum'. Namun bukan berarti doa dan ucapan
lain yang baik itu tidak diperbolehkan. Apalagi itupun bukan ucapan atau
perbuatan Nabi SAW melainkan kebiasaan diantara beberapa sahabat, diantaranya
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma.





Sedangkan mempermasalahkan
permohonan maaf, saling memaafkan sangatlah konyol.





"Minta Maaf Kok
Dianggap Salah Besar?"





Orang yang minta maaf di hari
Raya, Insya-Allah tidak meyakini minta maaf itu hanya khusus di hari Raya saja,
alangkah bodohnya tuduhan seperti ini. Minta maaf adalah usaha untuk
kesempurnaan dalam beribadah dari hablum minannas (membangun hubungan baik
dengan sesama manusia).





Meluruskan Makna Minal
'Aidin Wal Faizin





Minal
'Aidin wal Faizin
dalam
bahasa Indonesia, ringkasnya berarti “Semoga kita termasuk orang yang kembali
dan menuai kemenangan.” Dan lebih rincinya adalah
 adalah “Ja'alanallahu wa iyyakum MINAL 'AIDIN ilal
fithrah WAL FAIZIN bil jannah”
(Semoga Allah menjadikan kita semua
sebagai orang yang kembali pada fitrah dan menuai kemenangan dengan meraih
surga).





Apa makna fitrah? Setidaknya ia memiliki dua makna, yakni Islam dan
kesucian.





Makna pertama diisyaratkan oleh
hadits (artinya): "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua
orang tuanyalah yang menjadikan dia (sebagai/seperti) Yahudi, Nasrani, atau
Majusi."





Sisi pengambilan kesimpulan
hukum atau wajh al-istidlal-nya, Nabi telah menyebutkan agama-agama besar kala
itu, namun Nabi tidak menyebutkan Islam. Maka fitrah diartikan sebagai Islam.





Dengan ujaran lain, makna
kembali ke fitrah adalah kembali ke Islam, kembali pada ajaran, akhlak, dan
keluhuran budaya Islam.





Makna fitrah yang kedua adalah
kesucian. Makna ini berdasarkan hadits Nabi (artinya), "Fitrah itu ada
lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, mencabut/menghilangkan
bulu ketiak, dan memotong kuku." (HR. Bukhari dan Muslim)





Kelima macam fitrah ini semuanya
kembali pada praktik kebersihan dan kesucian. Dapat disimpulkan kemudian bahwa
makna fitrah adalah bersih dan suci.





Minal 'Aidin ilal fithrah,
berarti kita mengharap kembali menjadi orang bersih dan suci. Dengan keyakinan
pada hadits Nabi, orang yang shiyam dan qiyam (berpuasa dan menghidupkan malam)
di bulan Ramadhan, karena iman dan semata mencari ridha Allah, akan diampuni
dosanya yang telah lalu. Harapannya, semoga kita seperti bayi yang baru lahir
dari rahim ibu, bersih-suci dari salah dan dosa. Amin.





Sementara panjatan doa
"Semoga kita menuai kemenangan dengan meraih surga - Wal Faizin bil
jannah", sangat terkait dengan tujuan puasa Ramadhan dan happy ending bagi
orang yang berhasil membuktikan tujuan itu.





Dalam al-Baqarah ayat 183 dijelaskan
bahwa tujuan puasa Ramadhan adalah 'agar kalian bertakwa (la'allakum
tattaqun)'. Sedangkan Surat al-Hijr ayat 45 dan Ali Imran ayat 133 menjelaskan,
bagi orang bertakwa itu adalah surga sebagai balasannya. Jadi ringkasnya, puasa
berdampak ketakwaan, dan takwa dapat membawa orang menuju jannatun na'im yang
dijanjikan oleh Allah.

No comments

Powered by Blogger.