Hadits Yang Menyebutkan Ayah Nabi di Neraka








Berkata Imam Ibnu Hajar dalam kitab Syarh Hamaziah karya
Imam Bushiri: "Senantiasa dalam
rahasia alam ini, Engkau (Nabi) selalu dipilihkan dari ibu ayah pilihan. Allah berfirman dalam Alquran Surat Asy‐Syuara' ayat 26:  







"Dan (melihat) perubahan gerakan (perpindahan)
badanmu di antara orang‐orang yang sujud."









Menurut salah satu penafsiran ayat tersebut, bahwa yang
dimaksud dari ayat tersebut adalah pindahnya nur Muhammad dari orang yang sujud
kepada orang yang sujud. Ayat ini merupakan legalisasi bahwa garis keturunan
nabi Muhammad saw diwariskan dan diturunkan dengan  jalur suci dari masing
masing individu yang dipilih Allah swt dari nabi adam.  









Dan sabda Nabi
Muhammad Saw: Tiada henti‐hentinya aku dipindah dari punggung‐punggung yang
suci ke rahim‐rahim yang bersih."









Jika anda membantah: "lalu apa jawaban anda atas
pengakuan nabi bahwa ayahnya di neraka seperti yang disebutkan di hadits
muslim???.





Berikut redaksi hadits tersebut:









عن أنس أن رجلا قال: يا رسول الله، أين أبي؟ قال:
في النار، فلما قفى دعاه، فقال: إن أبي وأباك في النارِ









Dari Anas bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah “Ya, Rasulullah, dimanakah ayahku?" Rasulullah menjawab: “ Dia
di neraka.” Ketika orang tersebut hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya
seraya berkata: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.“ (HR Muslim).









Jawabannya:









Para ulama Ahlus sunnah wal jama'ah mengatakan bahwa hadits
Muslim di atas tersebut merupakan hadits Ahad yang matruk ad-Dhzahir. 







Hadits Ahad jika bertentangan dengan nash Al-Quran, atau hadits mutawatir, atau
kaidah-kaidah syari’at yang telah disepakati atau ijma’ yang kuat, maka dhzahir
hadits tersebut ditinggalkan dan tidak boleh dibuat hujjah dalam hal aqidah.









Imam Nawawi berkata:




ومتى
خالف خبر الأحاد نص القرأن او إجماعا وجب ترك ظاهره









“Kapan saja hadits Ahad bertentangan dengan nash ayat Quran
atau ijma’, maka wajib ditinggalkan dhahirnya.“ (Syarh Al-Muhadzdzab, juz: 4
hal: 342).









Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalani berkata:






قال
الكرماني : ليعلم انما هو اي خبر الأحاد في العمليات لا في الإعتقاد









“Imam Al-Karamani berkata,
“Ketahuilah! sesungguhnya hadits Ahad hanya boleh dibuat hujjah dalam hal
amaliah bukan dalam hal aqidah.“ (Fath Al-Bari juz: 13 hal: 231).









Lalu bagaimana makna sesungguhnya
hadits tersebut jika makna dhahirnya tidak dapat dijadikan pegangan. Pada
prinsipnya makna hakikat dari suatu ayat Alquran dan Hadits itu hanya Allah swt
dan RasulNya yang lebih mengetahui. Namun para ulama yang yang memiliki
kompentensi dan otentik mempunyai legalitas menafsirkan makna Ayat dan Hadits
berdasarkan hadits tentang Pahala bagi mujathid.









Hadits riwayat imam
Muslim tersebut (hadist Ahad dan syadz) masuk kategori ihtimal/ memungkinkan
makna lain (imma wa imma).









Jika ada hadits yang
memungkinkan banyak makna lainnya, maka tidak bisa dijadikan hujjah terlebih
dalam masalah aqidah. Hadits Muslim tersebut mengandung dua makna ihtimal.









Ihtimal pertama:









Ada kemungkinan Nabi saw
menjawab begitu karena takut kecewa dengan jawaban Nabi saw, karena nabi saw
menjawab, "ayahmu di neraka" seolah-olah nabi hanya menghibur supaya
yang bertanya hatinya lega.









Arti Ihtimal ini bukannya
tidak berdasar, tapi secara 'aqly (logika), Nabi menjawab dengan ulangan kata
"ayahku dan ayahmu di neraka." itu hanya menetralisir saja.









Dalam redaksi hadist
pertama isinya:









فلما قفى دعاه، فقال: إن أبي وأباك في النارِ









"Ketika orang
tersebut hendak beranjak pergi, Rasulullah memanggilnya seraya berkata:




“Sesungguhnya ayahku dan
ayahmu di neraka.“









Insya allah kita paham
dari maksud ulangan jawaban nabi ini.




Dalam redaksi hadis kedua:









فلما رأى ما في وجهه قال: إن أبي، وأباك
في النار









"Ketika nabi melihat
rawut wajahnya, Nabi berkata: “Sesungguhnya ayahku dan
ayahmu di neraka.“ Jadi seolah-olah nabi iba
dengan raut wajahnya yang sedih, karena jawaban nabi "ayahmu di neraka,"








Sehingga saat Nabi
melihat rasa sedih dan kecewa di wajahnya, nabi saw menetralisir dengan jawaban
yang kedua kali itu.









Ini tidak aneh atau
mengada-ada, ini terjadi kemungkinan besar karena rasa sensitif Nabi saw sangat
tinggi atas perasaan manusia. Tiada lain ini hanya satu buah dari buah ahklak
mulia Sang Nabi saw.









Ihtimal kedua:









Bahwa lafadz Ab (ayah) di
situ bermakna ‘Amm (paman) dengan qarinah-qarinah yang ada. Karena sudah maklum
dan terkenal dalam bahasa Arab penamaan paman dengan ayah, Yaitu ayah yang
mengasuhnya. Maka ayah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah ayah asuh
Rasulullah Saw yang tidak lain adalah pamannya yaitu Abu Thalib.









Sebab Abu Thalib juga
hidup saat Rasul Saw diangkat menjadi Rasul Saw (bukan ahli fatrah). dan beliau
menolak permintaan Rasul Saw untuk bersyahadat. Bahkan hal ini sudah masyhur di
zaman Nabi Saw bahwa paman beliau saw (Abu Thalib) dipanggil Ab (ayah) Nabi Saw
oleh orang-orang quraisy.









Sebagaimana diketahui
penolakan tersebut berimbas pada bertempatnya Abu Thalib di Pantai neraka
karena mengingkari perintah, bukan karena kekafirannya. Sebab beliau diyakini
telah beriman dengan hatinya dan kelak akan disyafaati oleh Nabi saw atas
kebaikan-kebaikannya kepada Nabi. Penolakan kalimat syahadat secara lisan tersebut
tidak lain dari politik kamuflase agar Nabi tidak disakiti karena petinggi
kafir quraisy yang juga pamannya juga berada di tempat yang sama pada saat itu.









Seperti disebutkan dalam
beberapa sirah Nabawiyyah:









كانوا يقولون له قل لإبنك يرجع عن شتم ألهتنا




وقال لهم أبو طالب مرة لما قالوا له أعطنا
إبنك نقتله وخذ هذا الولد مكانه ,أعطيكم إبني تقتلونه وأخذ إبنكم أكفله لكم









Orang-orang kafir berkata
kepada Abu Thalib: “Katakan pada anakmu agar
tidak lagi mencaci tuhan-tuhan kami." dan Abu Thalib juga
berkata pada mereka pada apa yang mereka katakan padanya:









“Berikan anakmu pada
kami agar kami membunuhnya dan ambillah anak ini sebagai gantinya"






Jawaban abu thalib:
"aku akan berikan anakku untuk kalian bunuh dan aku mengambil anak kalian
untuk aku pelihara". (Alfatawa alhadistiyah,Imam Ibnu Hajar Al-Haitami,
sejarah nabawi).









Sudah maklum di kalangan
mereka atas penamaan Abu Thalib disebut sebagai ayah Nabi Saw, karena ia telah
mengasuh dan memelihara Nabi Saw.









Lantas Bagaimana dengan
ayah Nabi Ibrahim? Seorang musyrik yang di sebutkan dalam alquran sebagai ayah
nabi ibrahim as. Sebagian mufassirin berkata dalam ayat:









وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ
أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً ۖ إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ









Dan (Ingatlah) di waktu
Ibrahim Berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala
sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan
yang nyata.” (Q.S Al An’am: 74).









Sebenarnya ayat di atas
sudah di jelaskan dengan ayat di surah ali-imron, yg mana keluarga nabi ibrahim
as adalah keluarga pilihan dari allah swt, seperti hal nya nabi muhammad saw,
dan nabi-nabi yang lain.









Dalam nash alquran di
tegaskan:









إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا
وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ









"Sesungguhnya Allah
telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala
umat (di masa mereka masing-masing)." [Surat Al-Imran : 33].









Sudah jelas di ayat ini
bahwa keluarga nabi ibrahim adalah keluarga yg suci dan pilihan. Juga di
tegaskan oleh para mufassirin Bahwa yang dmaksud abihi (ayahnya) Nabi Ibrahim
yang bernama Aazar adalah pamannya bukan ayahnya.









Imam Mujahid berkata:









ليس آزر أبا إبراهيم. البداية والنهاية " 1/163









“Azar bukanlah ayah
kandung Nabi Ibrahim As.“ (Albidayah wannihayah 1/163).









Atsar ini telah ditakhrij
oleh Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Abi Hathim dengan sebagian jalan
yang shahih.









Ibnu Al-Mundzir telah mentakhrij dengan sanad yang
shahih dari Ibnu Juraij tentang firman Allah Swt:









وإذ قال إبراهيم لأبيه آزر









Maka beliau berkomentar:









ليس آزر بأبيه إنما هو إبراهيم بن تيرح
او تارح بن شاروخ بن ناحور بن فالخ
. الحاوي 2/259









“Azar bukanlah ayah Nabi
Ibrahim, sesungguhnya dia adalah Ibrahim bin Tirah atau Tarih bin Syarukh bin
Nakhur bin Falikh “. (Alhawy 2/259).









Ibnu kastir menegaskan:









" جمهور أهل النسب - منهم ابن عباس - على أن اسم أبيه تارح ، وأهل الكتاب
يقولون تارخ
"
البداية والنهاية"1/163









Mayoritas ulama ahli
nasab, di antaranya adalah ibnu abbas ra, berpendapat bahwa nama ayah nabi. Ibrahim
adalah Tarih, dan ahli kitab menyebutnya Tarikh. (Albidayah wan nihayah 1/163).



Wallahu A'lam.


No comments

Powered by Blogger.