Penjelasan Dalil Ijmali Sifat Qidam (Tiada Awal)
Sifat yang kedua yang wajib bagi Allah ta’ala adalah Qidam yang maknanya adalah tiadanya permulaan, maka makna adanya Allah Dzat yang maha Dahulu adalah tiada awal (permulaan) bagi adanya Allah, berbeda dengan seseorang, karena adanya memiliki permulaan, yaitu terciptanya sperma yang mana seseorang terjadi dimulai sperma tersebut. [Dan sperma itu sendiri terjadi setelah ketiadaan].
الصفة الثانية الواجبة له تعالى القدم و معناه عدم الأولية فمعنى كون الله تعالى قديما لا أول لوجوده بجلاف زيد مثلا فوجوده له أول و هو خلق النطفه التي خلق منها
و اختلف هل القديم و الأزلي بمعنى واحد أو مختلفان فمن قال بالأول عرفهما بقوله ما لا أول له و يفسر ما بشيء اي القديم و الأزلي الشيء الذي لا أول له فيشمل ذات الله و جميع صفاته
و من قال بالثاني عرف القديم بقوله موجود لا أول له و عرف الأزلي بما لا أول له أعم من أن يكون موجودا أو غير موجود فهو أعم من القديم
فيجتمعان في ذاته تعالى و صفاته الوجودية فيقال لذاته تعالى و لقدرته تعالى أزلية
و ينفرد الأزلي في الأحوال ككون الله تعالى قادرا على القول بها فإن كون الله تعالى قادرا يقال له أزلي على هذا القول و لا يقال له قديم لما عرفت أن القديم لا بد فيه من الوجود و الكون قادرا لا يرتقي الى درجة الوجود لأنه حال
Telah terjadi perbedaan pendapat apakah Qadim dan Azaliy adalah satu makna atau dua perkara yang berbeda, maka ulama yang berpendapat dengan pendapat yang pertama (Qadim dan Azaliy adalah satu makna) maka ia mendefinisikan dengan sesuatu yang tiada permulaan untuk keduanya, berati Qadim dan Azaliy adalah sesuatu apa saja yang tiada permulaan baginya, termasuk Dzat Allah dan semua Sifat-sifatNya.
Sedangkan ulama yang berpendapat dengan pendapat yang kedua (Qadim dan Azaliy adalah dua perkara yang berbeda) maka ia mendefinisikan Qadim dengan sesuatu yang ada (maujud) tanpa permulaan baginya dan mendefinisikan Azaliy dengan sesuatu (apa saja) yang tiada permulaan baginya, Azaliy lebih umum dari sesuatu yang ada (maujud) atau sesuatu yang tiada (ma’dum), maka istilah azaliy lebih umum dari pada istilah Qadim.
Maka disebutlah dengan kedua istilah azaliy dan Qadim secara sekaligus pada Dzat Allah dan Sifat-sifatnya yang wujudiyah. Maka dikatakan: Dzat Allah ta’ala dan sifat QudrahNya adalah azaliah (sesuatu yang tiada permulaan), [dan juga sesuatu yang maujud (ada) tanpa permulaan].
Dan hanya bisa disebut dengan istilah azaliy sendirian pada sifat-sifat ahwal (keadaan) seperti sifat Kaunuhu ta’ala Qadirun yang menurut suatu pendapat yang mengatakan halnya sifat Kaunuhu ta’ala Qadiran, maka sesungguhnya Sifat Kaunuhu ta’ala Qadiran disebut azali saja menurut pendapat ini, dan tidak disebut Qadim karena pendefinisian Qadim harus pada sesuatu yang wujud, sedangkan sifat Kaunuhu Qadiran tidak sampai pada derajat wujud (ada) karena ia adalah hal (keadaan). [Hal itu antara maujud dan ma’dum].
و الدليل على قدمه تعالى أنه اذا لم يكن قديما كان حادثا لأنه لا واسطة بين القديم و الحادث فكل شيء انتفى عنه القدم ثبت له الحدوث و اذا كان تعالى حادثا افتقر إلى محدث يحدثه و افتقر محدثه إلى محدث و هكذا فإن لم تقف المحدثون لزم التسلسل و هو تتابع الأشياء واحدا بعد واحد إلى ما لا نهاية له و التسلسل محال
و إن انتهت المحدثون بأن قيل ان المحدث الذي أحدث الله أحدثه الله لزم الدور و هو توقف شيء على شيء آخر توقف عليه فإنه اذا كان الله تعالى عز و جل محدثا كان متوقفا على هذا المحدث
و قد فرضنا أن الله أحدث هذا المحدث فيكون المحدث متوقفا على الله و الدور محال اي لا يتصور فى العقل وجوده دور و الذي أدى إلى الدور او التسلسل المحالين فرض حدوثه تعالى عز و جل فيكون حدوثه تعالى محالا لأن كل شيء يؤدي إلى المحال محال
Dalil yang menunjukkan sifat Qidam (dahulu) nya Allah ta’ala adalah bahwa sesungguhnya jika Allah tidak Qadim (Dzat yang maha Dahulu) maka Allah adalah hawadits (perkara baru), karena tidak ada yang lain antara Qadim dan hawadits, maka setiap sesuatu yang tiada sifat qidam maka tetaplah padanya sifat huduts (baru), dan jika Allah adalah hawadits maka Allah membutuhkan kepada muhdits (pencipta) yang mengadakanNya, lalu muhditsNya membutuhkan kepada muhdits lain lagi, beginilah seterusnya, jika para muhdits tidak berhenti maka terjadilah tasalsul (mata rantai tiada ujungnya) yaitu berurut-urutnya segala sesuatu satu persatu tiada akhir, sedangkan tasalsul adalah perkara muhal (mustahil menemukan batas/ujung, sehingga MUSTAHIL adanya muhdits/pencipta yang sesungguhnya dalam konsep tasalsul).
Dalam konsep lain, jika para muhdits (pencipta) itu terbatas (lawan tasalsul), bahwa muhdits (pencipta) yang menciptakan Allah itu diciptakan oleh Allah maka terjadilah daur (putaran), yaitu terkait/terikat (butuh) sesuatu pada sesuatu yang lain, yang sesuatu yang lain itu terikat/terkait (butuh) pada sesuatu yang awal. Maka sesungguhnya apabila Allah ta’ala ‘azza wa jalla adalah muhdits (pencipta) maka terkait/terikatlah Allah pada muhdits yang telah menciptakannya ini. [dan begitupula sebaliknya].
Dalam keadaan seperti kita telah mengumpamakan/ menggambarkan bahwa Allah yang menciptakannya (muhdits) maka muhdits ini terikat pada Allah (karena Allah dijadikan oleh muhdits), sehingga terjadilah daur (putaran) yang muhal (MUSTAHIL/tidak masuk akal), yakni tidak tergambar ada/terjadinya dalam akal bahwa Allah memiliki muhdits (pencipta). Sedangkan pengandaian seperti di atas yang membawa kepada daur atau tasalsul yang mustahil adalah perumpamaan huduts (baru)nya Allah ta’ala ‘azza wa jalla, maka huduts (baru)nya Allah adalah perkara muhal (mustahil) karena setiap sesuatu yang membawa kepada muhal adalah muhal pula.
فحاصل الدليل ان تقول لو كان الله غير قديم بأن كان حادثا لافتقر الى محدث فيلزم الدور او التسلسل وهما محالان فيكون حدوثه تعالى محالا فثبت قدمه وهو المطلوب و هذا الدليل الإجمالي لقدمه تعالى و به يخرج المكلف من ربقة التقليد الذي يخلد صاحبه فى النار على رأي ابن العربي و السنوسي كما تقدم
Maka kesimpulan dalil ini adalah, Jika Allah bukan dzat yang maha terdahulu yang tiada permulaan dengan adanya Allah adalah perkara baru maka niscaya Allah membutuhkan kepada yang menciptakan, maka tetaplah adanya daur (berputar) atau tasalsul (mata rantai tiada akhirnya) , sedangkan daur dan tasalsul keduanya perkara muhal (mustahil), maka sifat barunya Allah ta’ala adalah perkara muhal (mustahil), maka tetaplah sifat qidam (dahulu)nya Allah, dan tetapnya sifat qidamnya Allah ini inti yang dicari (yang mesti diketahui karena hanya dengan qidamlah akal kita dapat menerima Allah sebagai Tuhan semesta alam) melalui pengandaian di atas, dan ini adalah dalil ijmal bagi sifat qidamnya Allah ta’ala, dengan mengetahuinya seorang mukallaf keluar dari kelompok taqlid yang pemiliknya kekal di neraka menurut pendapat Imam Ibnu al-‘Arabiy dan Imam As-Sanusiy sebagaimana keterangan yang telah lalu.
Kifayatul 'awam.
Mengadakan dan meniadakan itu butuh kepada muhdits (pembaru, pencipta, pengubah), karena perubahan tidak terjadi dengan sendirinya,-
Komentar