Dasar Teori Ilmu Kalam Berdasarkan Al-Quran dan Hadits
SUNNI: Kita memang harus mengikuti al-Qur’an dan hadits.
Tetapi untuk memahami al-Qur’an dan hadits secara benar dan mendalam, kita
membutuhkan perangkat. Untuk menggali hukum-hukum fiqih dalam al-Qur’an dan
hadits, perangkatnya disebut ilmu ushul fiqih. Untuk mengetahui hadits yang
shahih dan yang tidak shahih, perangkatnya disebut ilmu hadits. Untuk mendalami
al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan akidah dan keimanan, perangkatnya
disebut ilmu kalam. Untuk membaca al-Qur’an dengan benar, perangkatnya disebut
ilmu tajwid. Tanpa perangkat tersebut, pengetahuan kita terhadap al-Qur’an dan
hadits menjadi dangkal dan kering, seperti yang terjadi pada kaum Wahabi.
WAHABI: Ilmu kalam itu justru bertentangan dengan
al-Qur’an dan hadits, karena landasannya hanya dalil akal saja.
SUNNI: Anda harus tahu, bahwa mayoritas ahli tafsir
dan ahli hadits mengikuti madzhab Asya’irah dan Maturidiyah. Jika Anda tidak
tahu, silahkan Anda baca kitab Naqdu Manhaj al-Asya’irah fi al-‘Aqidah halaman
5, karya ulama Wahabi, Dr Safar al-Hawali, yang mengakui bahwa mayoritas ulama,
ahli tafsir dan ahli hadits pengikut Asya’irah, yang menjadi bukti bahwa ilmu
kalam itu juga memiliki dasar dalam al-Qur’an dan hadits. Tentu memiliki dasar,
menurut orang yang benar-benar belajar secara mendalam ilmu tafsir dan hadits,
bukan yang belajar secara sepotong dan dalam waktu yang cukup singkat seperti
Wahabi.
WAHABI: Mana dasarnya, bahwa akal dan ilmu kalam
diakui sebagai dalil dalam al-Qur’an?
SUNNI: Silahkan Anda baca artikel berikut ini.
Kalau Anda tidak setuju, tulis bantahan secara ilmiah.
DASAR TEORI ILMU KALAM DALAM AL-QUR’AN DAN
HADITS
PrologApabila ada kelompok menolak penggunaan metodologi
rasional dalam bidang ilmu akidah, kita pantas bertanya kepadanya, bagaimana
Anda dapat mengetahui kebenaran agama tanpa akal? Atau dengan kata lain,
bagaimana Anda percaya dengan isi al-Qur’an dan hadits tanpa berkonsultasi dan
merujuk kepada akal? Bukankah Allah SWT telah berfirman?
إِنَّا
هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِراً وَإِمَّا كَفُوراً. (الإنسان 3).
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang
lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. al-Insan : 3).
Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman:
وَقَالُوا
لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ. (الملك
10).
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. al-Mulk : 10).
Dalam kedua ayat tersebut, al-Qur’an
memperhatikan peran akal dalam mengantar seseorang menuju keimanan dan amal
yang baik ketika di dunia. Oleh karena itu, al-Imam Abu Hanifah radhiyallaahu
‘anhu berkata tentang fungsi akal yang diberikan oleh Allah kepada mereka:
وجعل
لهم عقلاً فخاطبهم وأمرهم بالإيمان ، ونهاهم عن الكفر والكفران ، فأقرُّوا له
بالربوبية ، فكان ذلك منهم إيماناً ، فهم يولدون على تلك الفطرة ، ومن كفر بعد ذلك
فقد بدَّل وغيَّر ، ومن آمن وصدَّق ثبت عليه ودام
Allah menciptakan akal buat mereka, lalu Dia
berbicara kepada mereka, memerintahkan mereka dengan keimanan dan melarang
mereka dari kekufuran, maka mereka mengakui ketuhanan kepada-Nya. Maka hal
itulah yang disebut keimanan bagi mereka. Mereka dilahirkan dalam fitrah
tersebut. Maka barangsiapa yang kufur setelah itu, maka ia berarti telah
merubah fitrahnya. Dan barangsiapa yang beriman dan membenarkan, berarti ia
masih kokoh dan tetap dalam fitrahnya. (Al- al-Qari, Minah al-Raudh al-Azhar fi
Syarh al-Fiqh al-Akbar, hlm 146-148).
Dasar-Dasar Metodologi Ilmu Kalam
Dalam teori ilmu kalam, penggunaan dalil-dalil
rasional lebih dimaksimalkan daripada penggunaan dalil-dalil naqli (al-Qur’an,
Sunnah dan Ijma’). Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalil naqli dijadikan petunjuk
awal dalam mencari kebenaran dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah.
Sedangkan akal dijadikan sarana dalam membuktikan kebenaran hal-hal yang telah
ditunjukkan dalil naqli tersebut. Hal ini bukan berarti bahwa teori rasional
ilmu kalam tidak memiliki dasar-dasar dalam dalil naqli. Justru teori rasional
ilmu kalam memiliki dasar yang kuat dan original dalam dalil naqli.
DALIL TAMANU’ DAN TAWARUD
Dalam pokok-pokok ketauhidan, dalil-dalil rasional
ilmu kalam diambil dari beberapa ayat al-Qur’an berikut ini:
لَوْ
كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا. (الأنبياء 22).
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan
selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. al-Anbiya’ : 22).
Ayat di atas sangat lugas dan ringkas dalam
menyampaikan dalil ‘aqli tentang keesaan Tuhan, bahwa Allah itu Maha Esa tanpa
ada sesuatu yang menjadi sekutu-Nya. Allah SWT juga berfirman:
مَا
اتَّخَذَ اللَّهُ مِن وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذاً لَّذَهَبَ
كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ.) المؤمنون 91)
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan
sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan
beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya,
dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. (QS.
al-Mu’minun : 91).
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
أم
جَعَلُواْ لِلّهِ شُرَكَاء خَلَقُواْ كَخَلْقِهِ فَتَشَابَهَ الْخَلْقُ
عَلَيْهِمْ. (الرعد 16).
Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah
yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa
menurut pandangan mereka? (QS. al-Ra’d : 16).
Ayat-ayat di atas adalah rujukan para ulama ahli
ilmu kalam dalam berhujjah tentang ketauhidan Allah. Demikian pula pembicaraan
mereka tentang rincian cabang-cabang persoalan tauhid dan keadilan Tuhan, juga
merujuk dan diambil dari al-Qur’an.
Sumber: Dokumen Syeikh Muhammad Idrus Ramli
Edisi Bongkar Dusta Buku Manhaj Salafi Imam Syafi’i (part 4)
Komentar