Ilmu Kalam Dan Ilmu Filsafat, Menjawab Tulisan Wahabi






Sebagian kaum Wahabi ada yang
menerjemahkan ilmu kalam dalam pernyataan para ulama dengan ilmu filsafat.
Sepertinya kaum Wahabi memang tidak pernah membaca kitab-kitab filsafat dan
ilmu kalam, karena itu sikap mereka terhadap keduanya kacau dan tidak ilmiah.
Oleh karena itu, berikut tulisan kami beberapa tahun yang lalu tentang
perbedaan ilmu kalam dan ilmu filsafat.




Tidak sedikit di antara kalangan
(terutama kaum Wahabi) yang berpandangan negatif terhadap ilmu kalam yang
menjadi wadah kajian akidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Pandangan negatif ini
dilandasi oleh asumsi mereka bahwa ilmu kalam itu identik dengan ilmu filsafat
yang dianggap negatif oleh kalangan agamawan. Sehingga pada gilirannya,
anggapan negatif tersebut berlaku pula terhadap ilmu kalam. Untuk menjernihkan
persoalan ini, di sini kita perlu mempertanyakan, benarkah asumsi bahwa ilmu
kalam itu identik dengan ilmu filsafat yang dinilai negatif oleh kalangan
agamawan?





Sebenarnya anggapan negatif
terhadap ilmu kalam, karena alasan ilmu kalam itu identik dengan ilmu filsafat
Yunani yang ditolak oleh kalangan agamawan, adalah berangkat dari
ketidakfahaman terhadap hakikat ilmu kalam serta perbedaannya dengan ilmu
filsafat. Padahal apabila difahami dengan benar, ilmu kalam itu berbeda dengan
ilmu filsafat. Dengan pencermatan yang agak seksama, akan ditemukan sekian
banyak perbedaan antara ilmu tauhid atau ilmu kalam dengan ilmu filsafat yang
ditolak oleh kalangan agamawan itu. Perbedaan antara ilmu kalam dengan ilmu
filsafat tersebut meliputi metodologi (manhaj), karakter penelitian, objek dan
tujuan.





Pertama, dari segi metodologi.
Kalau diamati dengan seksama, para filosof membicarakan eksistensi Allah, para
Malaikat dan lain-lainnya hanya berlandaskan pada pemikiran dan rasio. Mereka
menjadikan akal sebagai pokok bagi keyakinan tanpa mempertimbangkan
prinsip-prinsip yang dibawa oleh para nabi. Mereka tidak mengikatkan dirinya
dengan upaya rekonsiliasi antara teori rasional dengan prinsip-prinsip yang
dibawa oleh para nabi. Demikian ini berbeda dengan para ulama tauhid atau ahli
ilmu kalam yang membicarakan hal-hal tersebut dalam konteks menjadikan akal
sebagai satu-satunya perangkat untuk membuktikan kebenaran ajaran yang datang
dari Allah dan ajaran yang dibawa oleh para nabi. Menurut ulama tauhid akal adalah
sarana yang dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajaran agama, bukan sebagai
fondasi atau titik tolak bagi keyakinan dalam beragama.





Kedua, dari segi objek (maudhu’).
Kalau kita amati objek yang menjadi materi kajian ilmu tauhid atau ilmu kalam
adalah meliputi akidah-akidah yang diterima dari syari’ah. Dalam pandangan ahli
kalam, ajaran-ajaran yang diterima dari syari’ah itu dianggap sebagai sesuatu
yang aksioma yang menjadi titik permulaan kajiannya. Hal ini berbeda dengan
para filosof, di mana mereka tidak memulai kajiannya dari hal-hal aksioma,
karena dalam asumsi mereka kebenaran itu masih misterius dan belum diketahui
secara pasti ketika kajian mereka mulai. Karenanya para filosof membuat
perangkat-perangkat rasional untuk menelusuri dan mencari kebenaran dan tempat
kebenaran tersebut berada. Hal ini berbeda dengan seorang ahli ilmu kalam. Ia
membuat perangkat yang sama untuk membuktikan kebenaran prinsip yang telah ada
padanya yaitu akidah-akidah yang dibawa oleh agama.





Ketiga, dari segi tujuan. Bila
kita perhatikan tujuan bidang studi ilmu kalam, akan kita dapati bahwa seorang
ahli ilmu kalam memiliki tujuan yang konkrit, yaitu bertujuan memperkokoh dan
memperkuat akidah yang menjadi keyakinan dalam agama. Hal ini berbeda dengan
seorang filosof yang memiliki tujuan yang masih belum jelas, yaitu mencari
kebenaran seperti apa pun bentuknya. Perbedaan antara kedua tujuan ini jelas
sekali.







Dari pemaparan di atas, kiranya
dapat mengantarkan kita pada kesimpulan, bahwa ilmu kalam berbeda dengan ilmu
filsafat, dan perbedaan tersebut melahirkan hukum yang berbeda pula bagi
keduanya. Ilmu kalam diajarkan oleh para ulama, sementara ilmu filsafat ditolak
oleh mereka. (Ali Abdul Fattah al-Maghribi, al-Firaq al-Kalamiyyah
al-Islamiyyah Madkhal wa Dirasah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1995, hlm. 114.). —




No comments

Powered by Blogger.