Tata Cara Beristinja' Dengan Air, Batu, Tisu dan Lainnya









Istinja' dari air kencing dan kotoran (tahi) hukumnya wajib. Dan yang lebih diutamakan adalah beristinja' dengan batu kemudian
mengikutinya dengan air. Boleh juga hanya (beristinja') dengan air atau
dengan tiga buah batu yang dapat membersihkan tempat najis. Jika ingin
(beristinja) hanya dengan salah satu dari keduanya maka dengan air lebih
utama.







والاستنجاء
واجب من البول والغائط والأفضل أن يستنجي بالأحجار ثم يتبعها بالماء ويجوز
أن يقتصر على الماء أو على ثلاثة أحجار ينقي بهن المحل فإذا أراد الاقتصار
على أحدهما فالماء أفضل








Syarah







Istinja' adalah menghilangkan atau menyucikan najis yang keluar dari kemaluan (qubul dan dubur) dengan menggunakan air atau batu.










Maka barangsiapa yang buang air kecil (misalnya), berarti telah keluar dari kemaluannya suatu najis. Jika kemudian ia mencuci kemaluaannya dengan air atau mengusapnya dengan 3 batu, maka ini disebut istinja.










Hukum istinja adalah wajib. Maka, shalat tidak sah jika tidak
disertai istinja'. Jika seseorang buang air kecil kemudian ia tidak
beristinja, lalu berwudhu dan melaksanakan shalat, maka shalatnya tidak
sah. Sebab, shalat tidak akan sah jika pada badan, pakaian atau tempat shalat
terdapat najis.










Yang lebih utama ketika beristinja' adalah mengawali dengan 3 batu (atau satu batu yang memiliki tiga sisi) dan melanjutkannya dengan air. Jika seseorang buang air besar, sunnah
baginya untuk memulai istinja' dengan batu-batu, mengusap duburnya dan
menghilangkan benda atau ‘ain najisnya, kemudian menggunakan air untuk menghilangkan bekas yang masih tersisa. Dari
sini dapat dipahami bahwa yang disyaratkan pada istinja' dengan batu hanyalah
menyucikan benda atau ‘ain najis, sedangkan bekasannya tidak diwajibkan.










Alasan disunnahkan mengawali istinja' dengan batu dan dilanjutkan dengan air padahal air saja dapat membersihkan tempat najis itu secara sempurna, yakni penggunaan batu difungsikan agar tangan tidak terlalu banyak menyentuh najis.
Artinya, ketika seseorang beristinja' langsung dengan air dan tangannya, berarti ia menyiram najis itu dengan air dan tangannya akan menyentuh najis. Dengan menggunakan batu, maka 'ain najis akan dihilangkan dari tempat keluarnya, ia hanya perlu membersihkan sedikit bekasan najis dengan gosokan tangannya saat air disiramkan.










Jika seseorang ingin memilih salah satunya (antara batu dan air), maka
air lebih utama dari batu, karena air dapat menghilangkan ‘ain (benda)
najis beserta bekas yang menempel pada tempat yang akan disucikan,
adapun batu hanya menghilangkan ‘ain najis namun bekasnya tidak bisa dihilangkan. Artinya, ‘ain najis memang akan hilang
dengan batu, akan tetapi batu tidak dapat membersihkan tempat najis itu
secara sempurna, akan tetap tersisa sedikit bekasan najis.










Dan bekasan tersebut ditoleransi atau dimaafkan oleh Allah karena diberikan keringanan untuk kaum muslimin, sehingga walaupun terdapat bekasan itu maka shalatnya tetap sah. Hal ini berlaku bagi yang beristinja' hanya dengan batu saja.










Sebab lebih diutamakannya beristinja dengan air dari pada batu karena air dapat membersihkan tempat najis itu secara sempurna.










Fasal: Tentang Batu









Batu adalah salah satu alat
(wasilah) untuk beristinja'. Dan alat ini statusnya bukan sebagai
pengganti sebagaimana tayammum yang menggantikan wudhu hanya pada saat tidak dimungkinkannya berwudhu. Tayammum tidak sah jika ada
air tanpa 'uzur. Adapun berkenaan istinja' dengan batu, diperbolehkan memilih istinja' dengan batu meskipun ada air. Sedangkan bekas najis yang masih tersisa itu, yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan
air maka ditoleransi dalam agama jika seseorang hanya beristinja dengan batu saja. Adapun
jika istinja' dilakukan dengan air, maka sisa atau bekasan najis sekecil apapun tidak
dapat ditoleransi (dimaafkan), wajib untuk membersihkan tampat najis secara sempurna.










Maka, orang yang beristinja dengan batu padahal ia dekat dengan sungai, istinja'nya sah dan tidak wajib menggunakan air.










Masalah ini bukan hanya terbatas pada batu saja, akan tetapi juga segala
yang berfungsi seperti batu, misalnya tisu dan kain yang melengkapi
syarat sebagai alat istinja'. Yakni setiap bahan yang suci, kering, tidak
terhormat (misalnya tidak ada tulisan ayat al-quran padanya), yang dapat mengangkat dan menyerap najis maka dapat (sah)
digunakan untuk istinja', Selain itu termasuk juga kayu yang yang melengkapi persyaratan-persyaratan tersebut. 










Adapun jika bahan itu bukan dari jenis yang kering, maka tidak sah
digunakan untuk istinja', seperti air mawar, cuka dan air sabun. Maka
barangsiapa yang beristinja' dengan air mawar hingga membersihkan tempat
najisnya, maka bersucinya tidak sah. Tempat
itu tetap najis dalam sisi hukum, karena semua benda cair selain Air Mutlak tidak sah digunakan untuk istinja'.










Begitu pun jika batu atau benda lain yang serupa itu basah, maka tidak
sah istinja' dengannya karena ia tidak kering. Contoh: seseorang
beristinja' dengan batu yang dibasahi dengan air, maka istinjanya tidak
sah, karena najis akan mengotori batu yang basah lalu batu yang basah
tersebut kembali mengotori tempat najis sekitarnya, sebab itulah batu yang basah
tidak bisa mengangkat najis sebagaimana mestinya. Berbeda halnya dengan
batu kering yang mampu mengangkat atau menyerap najis sehingga najis
tersebut tidak kembali menempel pada tempat keluarnya.









Begitu juga jika alat yang kering itu najis seperti kotoran (tahi) merpati kering,
atau kain yang terkena najis, maka istinja'nya tidak sah. Syarat ini
juga berlaku untuk batu, jika batu itu terkena najis, maka tidak sah
istinja' dengannnya. Karena maksud istinja adalah bersuci, dan
benda yang najis tidak dapat digunakan untuk itu.










Begitu juga jika benda itu kering dan suci, akan tetapi tidak dapat
mengangkat najis, artinya tidak dapat membersihkan tempat najis, maka
juga tidak sah istinja' dengannya. Seperti seseorang beristinja' dengan
benda berbahan kaca yang halus, maka ini tidak dapat mengangkat najis.










Bagitu juga jika benda itu kering, suci dan dapat mengangkat najis, akan
tetapi termasuk benda yang dihormati, maka juga tidak sah beristinja
dengannya, seperti roti atau makanan yang lain, atau beristinja dengan
buku-buku ilmu agama syariat.










Intinya, segala benda yang seperti batu dengan kriteria kering, suci, dapat membersihkan tempat najis dan bukan benda yang terhormat, boleh digunakan untuk beristinja.










Syarat-Syarat Istinja dengan Batu



Mengusap
qubul atau dubur setelah buang air kecil dan besar tiga kali.
Boleh dengan tiga batu, atau dengan satu batu tapi memiliki tiga
sisi. Tidak boleh mengusap dengan satu batu dan dengan satu sisi
tiga kali. Jika dilakukan seperti itu maka tempat najis tidak
menjadi suci. Contoh: seseorang buang air kecil, kemudian ia
mengusap satu kali dan tempat najis itu langsung bersih, kemudian
ia mengusap lagi dan selesai. Ini tidak sah dan tempat najis tidak
menjadi suci
pada syar’i karena ia hanya mengusap dua kali.






Maka harus dilakukan tiga kali walaupun tempat najis dapat
dibersihkan dengan kurang dari tiga kali usapan. Adapun lebih dari
tiga maka ini boleh. Bahkan jika dengan tiga kali
usapan masih belum bersih maka mesti diusap lagi dengan batu atau
sisi batu yang lain sampai kotorannya hilang.




Orang
yang beristinja hendaknya membersihkan tempat najis, berusaha agar
tidak ada yang tersisa kecuali bekas yang tidak dapat dihilangkan
kecuali dengan air. Contoh: seseorang buang air besar, kemudian ia
mengusap duburnya dengan tiga buah batu akan tetapi itu tidak
membersihkan tempat najis.





Maka ia harus menambah usapan menjadi
empat, lima atau enam sampai dapat membersihkan tempat najis. Dan
disunnahkan jika lebih dari tiga untuk menutupnya dengan jumlah
ganjil misalnya 5 kali, 7 kali atau seterusnya.












Kesimpulan Istinja dengan Batu dan Tissue








فَصْلٌ : شُرُوْطُ إِجْزَاءِ الْحَجَرِ ثَمَانِيَةٌ 

أنْ يَكُوْنَ بِثَلاَثةِ أَحْجَارٍ وَأنْ يُنْقِيَ الْمَحَلَّ وَأنْ لاَ يَجِفَّ النَجَسُ وَأَنْ لاَ يَنْتَقِلَ

وَلاَ يَطْرَأَ عَلَيْهِ آخَرُ وَأَنْ لاَ يُجَاوِزَ صَفْحَتَهُ وَحَشَفَتَهُ وَأَنْ لاَ يُصِيْبَهُ مَاءٌ وَأنْ تَكُوْنَ الأَحْجَارُ طَاهِرَةً














Terjemahan










[Pasal] Syarat dianggap mencukupinya beristinja’ dengan batu: 




1. Menggunakan 3 batu 




2. Batu tersebut bisa membersihkan tempat najis




3. Najisnya belum sampai kering 




4. Najisnya tidak berpindah ke tempat lain 




5. Tidak terkena najis lain 




6. Najisnya tidak melewati Pinggir lubang dubur (shafhah)dan ujung penis (khasyafah)




7. Najisnya tidak terkena air 




8. Batu yang digunakan harus batu yang suci










Penjelasan









1. Istinja’ (membersihkan najis yang keluar saat buang air) bisa
dilakukan dengan cara memakai batu terlebih dahulu kemudian dibasuh
dengan air, hanya memakai air saja atau hanya memakai batu saja, namun
yang paling baik adalah dengan cara pertama, yaitu mengusap dengan batu
sebanayak 3 kali kemudian disiram dengan air (1).










2. Syarat – syarat istinja’ dibagi menjadi 3;











a) Syarat - syarat yang berkaitan dengan benda yang dipakai istinja’




b) Syarat – syarat yang berkaitan dengan penggunaan benda – benda yang dipakai istinja’




c) Syarat – syarat yang berkaitan dengan najis yang keluar ketika buang air



Syarat – syarat yang berkaitan dengan benda yang dipakai istinja’, yaitu :














a) Benda yang dipakai istinja’adalah benda padat dan kering, seperti batu atau tisu. Karena itu tidak sah istinja’ menggunakan benda cair, semisal air cuka.










b) Benda yang digunakan adalah benda yang suci, bukan benda yang najis, seperti kotoran (tahi) merpatiatau benda yang terkena najis.











c) Benda tersebut bisa menghilangkan kotoran yang keluar, maka dari itu
tidak sah beristinja’ dengan menggunakan benda yang yang halus, seperti
debu yang lembut atau pohon bambu yang halus.








d) Benda tersebut tidak dimuliakan, jadi tidak boleh dan tidak sah
istinja’ dengan benda yang dimuliakan, semisal kertas yang bertuliskan
nama Allah, malaikat atau nama para rasul dan nabi, contoh lainnya
seperti kitab – kitab atau buku – buku tentang ilmu agama, seperti
tafsir, hadits dan fiqih (2).



Syarat-syarat yang berkaitan dengan penggunaan benda-benda yang dipakai istinja’ yaitu :



a. Menggunakan 3 batu atau sejenisnya
atau 3 sisinya, jadi tidak boleh kurang dari 3 kali usapan. apabila
sudah mencukupi, jika belum cukup maka harus diusap lagi sanpai
kotorannya tidak ada.














b. Benda yang digunakan istinja’ tersebut mampu menghilangkan kotoran
hingga tak tersisa lagi kecuali bekasnya saja, namun disunatkan untuk
menghilangkan bekasnya juga. Jadi tidak memadaiberistinja’ dengan benda yang lembut (halus) yang tak mampu membersihkan kotoran, semisal dengan kaca atau plastik.



Syarat – syarat yang berkaitan dengan najis yang keluar ketika buang air yaitu :



a. Najis yang menempel belum sampai kering, apabila sudah kering maka mesti istinja’ dengan air sampai suci dan tidak cukup hanya dengan batu.














b. Najis yang keluar tidak berpindah ke tempat lain, semisal pindah ke
paha, apabila berpindah maka istinja’nya harus dengan air.











c. Najis tersebut tidak bertemuatau bercampur
dengan najis lain, semisal terkena kotoran binatang, apabila bercampur
dengan najis lain, istinja’nya harus dengan air.











d Tinja yang keluar tidak melewati pinggir (shafhah) lubang
dubur dan air kecing yang keluar tidak melewati hasyafah (bagian ujung
penis yang terlihat setelah dikhitan). Jika sampai melewati maka harus
istinja’ dengan air.











e. Kotoran yang keluar tidak terkena air, apabila terkena air harus istinja’ dengan air (3).






Keterangan Khusus Mengenai Istinja' dengan Tisu dapat dilihat dalam beberapa referensi berikut:






بغية المسترشدين
الجزء ١ الصحيفة ٢٧


يجوز الاستنجاء بأوراق
البياض الخالى عن ذكر الله كما في الإيعاب
.


المذاهب الأربعة
الجزء الأوّل الصحيفة ٩٧


أما الورق الذى لايصلح
الكتابة فإنه يجوز الاستجمار به بدون كراهة
.


ومثله  اعانة الطالبين الجزء الأول الصحيفة ١٠٨


وكفاية الأخيار الجزء
الأوّل الصحيفة ٢٨


و خاشية القليوي
الجزء الأول  الصحيفة   32-34

















Referensi


1. Fathul Qarib, Hal : 16




2. Ghayatul Muna, Hal : 122




3. Ghayatul Muna, Hal : 125 - 129










***



Lihat Pembahasan Sebelum dan Sesudahnya:




No comments

Powered by Blogger.