Mengapa Mayoritas Muslim Indonesia Bermazhab Syafi'iyah?






Secara terminologi, mazhab adalah pendapat imam mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Alquran dan Hadits, dan disertai pula pemahaman para muridnya mengenai hukum syariat melalui asasi yang telah diqanunkan oleh imam mujtahid tersebut.



Jadi yang dikatakan dengan bermazhab adalah mengikuti pendapat imam mazhab dan para muridnya, sehingga seseorang yang beramal sesuai dengan pendapat Imam al-Syafi’i dan para muridnya dikategorikan sebagai seorang yang bermazhab Syafi’i atau dengan sebutan lain, yaitu Syafi’iyah.




Indonesia dan beberapa negara lain di asia tenggara menjadi tempat berdomisilinya muslim  yang bermazhab Syafi'i, hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya:





1. Arus penyebaran Islam dilakukan oleh para pendakwah bermadzhab Syafi'i, baik da’i sebelum Walisongo maupun sesudah mereka. Memang terdapat beberapa daerah yang--diduga-- terpengaruh Syiah dengan ritus-ritus khas yang terlestarikan hingga saat ini, begitupun daerah yang di abad ke-19 tersentuh gerakan Wahhabi, seperti di Sumatera Barat. Hanya saja ini kasuistik saja, gejala umumnya tetap Sunni-Syafi'i.





2. Para sultan di berbagai kerajaan Nusantara memberi dukungan atas pengajaran madzhab ini. Secara khusus mereka membiayai penulisan sebuah Kitab. Misalnya, Sultanah Safiyyatuddin Syah, penguasa Aceh, meminta Syaikh Abdurrauf Assinkili merampungkan kitab fiqh "Mir'atut Thullab" yang selesai ditulis pada 1074 H/1663 M. Kitab ini bahkan dijadikan rujukan fiqh hingga di kepulauan Mindanao, Filipina. Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar, meminta Syaikh Arsyad al-Banjari menulis "Sabilul Muhtadin" yang rampung pada 1195 H/1781 M.





3. Matarantai intelektual terjalin atas dasar kesamaan madzhab. Jaringan ini terlestarikan dari Haramain ke Nusantara. Sampai saat ini jaringan tetap terbina.





4. Arus imigrasi dari Hadramaut (Yaman) memperkuat jejaring sosial-intelektual yang telah ada. Kitab-kitab karya ulama 'Alawiyyin Hadhramaut menjadi acuan dalam tazkiyatun nafs, seperti Risalatul Mu'awanah karya Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Demikian pula pembacaan Ratib (al-Aththas, al-Haddad) menjadi rutinitas khas di beberapa pesantren Nusantara.





5. Penulisan kitab-kitab fiqh yang dilakukan oleh ulama Nusantara merujuk pada kitab-kitab Syafi'iyah. Mir'atut Thullab-nya Syaikh Assinkili maupun Sabilul Muhtadin-nya Syaikh Arsyad Albanjari banyak merujuk pada kitab-kitab Syafi'iyah seperti Fathul Wahhab, Tuhfatul Muhtaj, Mughniyyul Muhtaj, Nihayatul Muhtaj, Minhajut Thullab, dan sebagainya. Kitab Sirath al-Mustaqim-nya Syaikh Nuruddin Arraniri juga banyak dikutip di dalamnya. Hal ini jelas mempengaruhi tradisi intelektual pada babakan sejarah berikutnya.





Demikian dominannya Madzhab Syafi'i dan kitab-kitab Syafi'iyyah sehingga hal ini sangat mempengaruhi corak istinbath al-ahkam dalam tradisi fiqh di kalangan NU, bahkan terdapat klasifikasi Kutub al-Mu'tabarah. Keberadaan kitab lintas madzhab "baru saja" dikenal setelah Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Imran Chamzah, dan Gus Mus mendorong perubahan paradigmatik dari tradisi qawli ke manhajiy, di Munas NU di Lampung.





6. Para qadhi-penghulu di era kesultanan hingga zaman kolonial menggunakan kitab fiqh Syafi'iyyah sebagai rujukan utama.





Wallahu a'lam Bisshawab

No comments

Powered by Blogger.