Konsep Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini

Imam Ghazali adalah seorang tokoh Moralis yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Karena itu tidaklah mengherankan kalau dalam Ihya Ulumuddin, ia menyediakan satu bab khusus untuk pembahasan akhlak dan pembiasaannya, yang dibagi menjadi dua bagian penting yaitu Riyadhatun Nafs (latihan pribadi umum) dan Riyadhatus Shibyan (latihan pekerti anak-anak). 

(Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak pada anak-anak ini diterangkan dalam kitab Ihyaa Ulumuddin jilid III halaman 69-72).

Pertama-tama Imam Ghazali menegaskan bahwa usaha untuk melatih anak-anak agar mereka itu memperoleh pendidikan yang baik serta akhlak yang mulia termasuk hal yang amat penting. Seorang anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah swt kepada orang tuanya. Hatinya yang suci adalah bagaikan mutiara yang yang belum dibentuk. Karena itu, dengan mudah saja ia menerima segala bentuk rekayasa yang ditujukan kepadanya. Jika dibiasakan melakukan kebaikan dan menerima pengajaran yang baik, ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan baik dan bahagia, dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Dan kedua orang tuanya, gurunya serta pendidiknyapun ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya. 

Tetapi jika dibiasakan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya ia akan sengsara dan binasa, dosanya akan dipikul juga oleh kedua orang tuanya, walinya atau siapa saja yang bertanggung jawab atas pendidikannya. 

Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini sekali. Sejak awal anak harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti diasuh dan disusui oleh wanita yang shalihah, kuat dalam melaksanakan ajaran agama, dan tidak makan kecuali yang halal saja. 

Kemudian pada saat kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (tamyiz) mulai muncul dalam diri anak, perhatian harus lebih ditingkatkan lagi untuk memastikan bahwa ia mengaitkan nilai kebaikan dengan hal-hal yang memang baik dan nilai keburukan kepada hal-hal yang memang buruk (asosiasi nilai). 

Adapun pemikiran Imam Ghazali tentang konsep pendidikan akhlak pada anak-anak adalah sebagai berikut: 

1. Akhlak Terhadap Allah

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak yang telah mencapai usia tamyiz, maka hendaklah tidak dibiarkan meninggalkan thaharah dan shalat. Juga mulai diperintahkan berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan. 

Imam Al-Ghazali sangat menganjurkan sejak dini orang tua membiasakan anak-anaknya untuk beribadah, seperti shalat, berdoa, berpuasa di bulan Ramadhan dan lain-lain, sehingga secara berangsur-angsur tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut, kemudian dengan sendirinya anak akan terdorong untuk melakukannya tanpa perintah dari luar (motivasi eksternal) tetapi dorongan itu timbul dari dalam dirinya (motivasi internal) dengan penuh kesadaran. Anak harus berangsur-angsur dapat mengabstraksikan, memahami bahwa beribadah itu harus sesuai dengan keyakinannya sendiri, keyakinan dengan sadar bukan ikut-ikutan atau paksaan. Dengan kata lain, anak yang banyak mendapatkan kebiasaan dan latihan keagamaan di masa kecil maka pada waktu dewasanya akan semakin merasakan kebutuhan terhadap pentingnya agama dalam kehidupan. 

Selain itu, Imam Al-Ghazali juga menekankan perlunya anak-anak pada usia tamyiz diajarkan tentang hukum syari’at yang diperlukan. 

2. Akhlak Terhadap Orang Tua 

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak haruslah dididik untuk selalu taat kepada kedua orang tuanya, gurunya serta yang bertanggung jawab atas pendidikannya. Dan hendaklah ia menghormati mereka serta siapa saja yang lebih tua daripadanya. Dan agar ia senantiasa bersikap sopan dan tidak bercanda atau bersenda gurau dihadapan mereka. 

Setelah menekankan pentingnya menanamkan rasa hormat anak terhadap orang tua, Imam Al-Ghazali juga menjelaskan perlunya menerapkan hukuman dan hadiah, mengenai hal ini Imam Al-Ghazali berkata: Apabila seorang anak berkelakuan baik dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah ia diberi hadiah dan dipuji di depan orang banyak kemudian jika suatu saat ia melakukan hal-hal yang berlawanan dengan itu, sebaiknya kita berpura-pura tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila anak berupaya merahasiakannya, membicarakan hal itu justru akan menimbulkan kenekatannya sehingga ia tidak peduli lagi dengan kecaman siapapun. 

Setelah itu, apabila ia mengulangi lagi perbuatannya itu, maka sebaiknya ia ditegur secara rahasia dan memberitahuannya tentang akibat buruk dari perbuatannya itu. Sehingga dapat memalukannya sendiri dengan orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, janganlah berlebihan dalam mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan dapat mendorongnya ke arah perbuatan yang lebih buruk lagi. Dan ketika itu mungkin telinganya menjadi kebal dalam mendengar kecaman-kecaman yang ditujukan padanya.

Di samping itu Imam Al-Ghazali juga menjelaskan hendaklah orang tua selalu menjaga kewibawaannya dalam berbicara kepada anak-anaknya. Untuk itu, janganlah ia memarahinya kecuali pada waktu-waktu yang sangat diperlukan saja. Sementara itu, ibu mempertakutinya dengan amarah ayahnya dan mencegahnya dari segala perbuatan buruk. 

Lanjutannya bisa dibaca dalam rujukan berikut:
(Kitab Ihyaa Ulumuddin jil III halaman 69-72)

No comments

Powered by Blogger.