Hati Sebagai Pusat Tubuh, Menurut Hadits dan Ilmu Medis










Nabi saw bersabda: Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah yang apabila ia sehat dan baik maka baiklah seluruh tubuh, sebaliknya apabila ia buruk maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut itu adalah hati.







Hadits ini diriwayatkan oleh Al-bukhari dalam shahihnya, Kitab Al-Iman. Hal senada diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim yaitu kitab al-Musaqah, Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini dalam sunannya yaitu pada kitab al-Fitan, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Ad-Darimi dalam Sunannya yaitu pada kitab al-Buyu’.






Hadits ini memuat secercah kemukjizatan ilmiah dalam ilmu kedokteran, karena penyakit apapun apabila telah menyerang hati atau jantung, maka ia akan merusaknya dan akhirnya akan merusak seluruh tubuh. 





Hal ini dikarenakan jantung berfungsi sebagai pemompa darah yang tidak bersih (belum teroksidasi) dari bilik jantung bagian kanan ke paru-paru yang langsung melakukan proses oksidasi darah, lalu mengembalikan darah yang sudah bersih (teroksidasi) dari paru-paru ke bilik jantung bagian kiri yang kemudian memompanya ke seluruh tubuh. Jantung dalam hal ini mensuplai triliunan sel-sel pembentuk tubuh manusia dengan gas oksigen dan sari-sari makanan. Sehingga jika ia sampai rusak atau macet, maka seluruh sel tubuh pun akan ikut rusak.





Ini merupakan fakta medis yang  baru bagi disiplin ilmu manusia sampai ketika Ibnu An-Nafis menemukan sirkulasi darah kecil pada abad ke-7 H yang bertepatan dengan abad 13 M. Namun buah pemikiran ini terkubur dan terlupakan selama lebih dari 3 abad dan baru terkuak kembali ketika orang-orang barat berusaha menisbatkan penemuan tersebut pada diri mereka, dengan cara memunculkan kembali pemikiran tersebut, mengembangkannya, dan mengakuinya sebagai penemuan mereka.





Terlepas dari itu, yang jelas isyarat oleh Nabi saw 1400 tahun silam yakni apabila hati atau jantung baik maka proses sirkulasi darah akan menjadi baik dan sehat dengan demikian seluruh tubuh akan menjadi baik pula, namun apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh organ tubuh, sudah dibuktikan secara ilmiah.  





Namun dari sini ada persepsi lain di dalam teks-teks al-Quran, hadits Rasulullah saw, dan pemahaman banyak orang, yang memahami hati di sini bukan sebagai daging yang berbentuk seperti buah pir yang merupakan organ vital manusia yang terletak di dalam ruang dada yang bertugas dan berfungsi sebagai pemompa darah keseluruh sel tubuh. Akan tetapi, lebih sebagai sesuatu yang berkaitan dengan perasaan, nalar, pemikiran, pemahaman, keyakinan, pilar-pilar akhlak, dan rambu-rambu prilaku.





Meski demikian, hati organik (yang berbentuk, dapat diraba) dan hati Maknawiyyah (yang tidak berbentuk, tidak dapat diraba), keduanya memiliki kesamaan yakni sama-sama memiliki fungsi yang sangat vital bagi manusia.





Konon hati organik ini tetap ada kaitannya dengan masalah-masalah mental dan perasaan ini dalam bentuk keterkaitang (‘alaqah) yang belum diketahui orang banyak, melainkan hanya dapat dipahami oleh para pemikir sekaliber al-Imam al-Ghazali yang berpendapat bahwa eksistensi maknawi (abstrak) atau Perasaan rabbaniyyah memiliki kaitan dengan hati organik dengan model keterkaitan yang tidak diketahui secara pasti isinya.





Al-Ghazali bahkan berpandangan bahwa hati maknawi inilah yang merupakan hakikat manusia. Sebab ia menjadi bagian dari manusia yang mengetahui, memahami, dan menalar. Juga yang diberi khiththabi (tanggung jawab), disiksa, ditegur, dicerca dan dimintai pertanggung jawaban. Hati maknawi terkait dengan ruh, namun hakikatnya tetap merupakan rahasia yang terkunci rapat.





Dengan model pemaknaan seperti ini, kita juga bisa melihat kilauan kemukjizatan di dalam hadits Rasulullah saw tersebut di atas. Sebab jika pusat emosi, nalar, pemikiran, pemahaman, keyakinan, dan pilar-pilar akhlak itu baik maka akan baik pula hakikat diri manusia sebagai makhluk yang mengetahui dan memahami. Sebaliknya, jika ia buruk atau jahat, maka semuanya akan buruk dan bobrok.





Dari sini muncul pertanyaan yang selalu terulang, siapakah yang mengajari Nabi Muhammad saw tentang fakta-fakta ini jika bukan Allah Sang Pencipta Langit dan Bumi yang maha mengetahui lagi maha bijaksana.





Isyarat-isyarat ilmiah yang menyinggung sejumlah fakta berharga ini bisa menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Semoga shalawat kesejahteraan, salam kedamaian, dan keberkahan selalu tercurahkan kepada Rasulullah saw beserta keluarganya, shahabat, dan mereka yang mengikuti petunjuknya dan berdakwah di jalan Allah swt. Amiin





Wallahu a’lam.  


   

No comments

Powered by Blogger.