Membantah Argumen Pengingkar Bacaan "Sayyidina"







Pada dasarnya Lafaz Sayyid memiliki beberapa makna, di antaranya adalah pemimpin bagi suatu kaum, yang berakhlak mulia, yang memiliki banyak pengikut, yang bisa melindungi lainnya saat ditimpa kesulitan.


Argumen pokok yang sering dijadikan dalil larangan penyebutan Sayyid bagi Nabi Muhammad SAW adalah Hadits riwayat Abu Dawud berikut ini: 





عَنْ مُطَرَّفٍ قَالَ أَبِيْ انْطَلَقْتُ فِى وَفْدِ بَنِيْ عَامِرٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا فَقَالَ السَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلاً وَأَعْظَمُنَا طُوْلًا فَقَالَ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَوْبَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَايَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ





“Dari Mutharrif ia berkata: “Ayahku pernah berkata: “Aku pergi bersama utusan Bani Amir menuju ke (kediaman) Rasulullah SAW, kami berkata: “Engkau adalah Sayyid kami. Lalu beliau bersabda: “Yang Sayyid adalah Allah SWT yang memiliki keberkahan lagi luhur.” Kami barkata: “Dan kami hanya mengutamakan derajatmu dan mengagungkan anugrahmu.” Beliau berkata: “Berkatalah kalian dengan apa yang kalian katakan atau sebagiannya dan jangan sampai syaitan menjerumuskan kalian.” (HR. Abu Dawud)





Dalam memahami Hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa Nabi SAW tidak melarang beliau dipanggil dengan sebutan Sayyidina dengan larangan tahrim (pengharaman). Hal ini ditinjau dari dua kajian.






Pertama, kata السَّيِّدُ اللهُ pada Hadits tersebut hanyalah penjelasan Nabi SAW tentang siapa yang berhak menyandang sebutan Sayyid secara hakiki dan mutlak (bermakna tanpa batasan), yang berarti pengatur, pemimpin bagi selainnya tanpa pengecualian, dan penguasa sekalian mahluknya tanpa ada yang keluar dari penguasaannya. Hadits tersebut tidak menafikan makna Sayyid yang lainnya seperti yang telah disebutkan di awal bab yang bisa pula disandang oleh Nabi SAW. Artinya, gelar ini layak disandang oleh Allah SWT atau pun mahlukNya, seperti kata الرَّبُّ (yang memiliki kekuasaan).





Allah SWT berfirman:




وَقَالَ لِلَّذِيْ ظَنَّ أَنَّهُ نَاجٍ مِنْهُمَا اذْكُرْنِيْ عِنْدَ رَبِّكَ فَأَنْسَىهُ الشَيْطَانُ ذِكْرَ رَبِّهِ فَلَبِثَ فِى السِّجْنِ بِضْعَ سِنِيْنَ





“Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahui selamat di antara mereka berdua: “Terangkanlah keadaanku kepada tuan-mu!” Maka syaitan manjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah Yusuf dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS. Yusuf: 42)





وَقَالَ اْلَملِكُ ائْتٌوْنِيْ بِهِ فَلَمَّاجَاءَهُ الرَّسُوْلُ ق ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَسْئَلْهُ مَابَالُ النِّسْوَةِ الَّتِىْ قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ إِنَّ رَبِّي بِكَيْدِهِنَّ عَلِيْمٌ





“Dan Raja berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: “Kembalilah kepada Tuanmudan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhankumaha mengetahui tipu daya mereka.”(QS. Yusuf:50).






Yang dikehendaki oleh Nabi Yusuf AS dengan mengatakan rabb jelaslah bukan rabb yang berarti “Tuhan”, akan tetapi rabb yang berarti tuan, sebagaimana dikatakan رَبُّ الدَّارِ yang berarti tuan rumah. Demikian pula sebutan Sayyid. Dalam surat Ali-Imran Allah SWT memberi kehormatan kepada Nabi Yahya AS dengan sebutan Sayyid, Allah swt berfirman:






فَنَادَتْهُ اْلمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّىْ فِىْ اْلمِحْرَابِ أَنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىْ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ وَسَيِّدًاوَحَصُوْرًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِيْنَ





“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia sedang berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah SWT, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.”


(Ali Imran: 39)





Meskipun muatan maknanya hampir sama, sebutan Sayyid disandang oleh Rasulullah SAW jelas tidak sepadan dengan sebutan Sayyid yang disandang Allah SWT. Gelar Sayyid bagi Nabi SAW disematkan atas kepemimpinannya bagi umat dengan derajat kenabian dan kerasulannya. Dengan kata lain, Nabi Muhammad adalah pemimpin semua kecuali bagi Allah, sementara bagi Allah SWT pemimpin dan penguasa sekalian jagat raya tanpa kecuali.





Kedua, kalau pun ada kesan larangan Rasulullah SAW dalam Hadits di atas, yang tersurat dalam teks





قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَوْبَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَايَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ





(berkatalah dengan ucapan kalian atau sebagai ucapan kalian dan jangan biarkan setan menjerumuskan kalian), itu pun disebabkan beliau tidak ingin dipuji secara berlebihan alias muncul dari ketawadhu’an (merendahkan diri) yang beliau miliki dan disebabkan pula oleh kekhawatiaran beliau atas kesalah pahaman Bani Amir dalam memahami arti Sayyid. Sebab, mereka masih mu’allaf yang belum lama masuk Islam.





Beliau khawatir mereka memahami makna Sayyid yang beliau sandang atas kemuliaan derajat Nabi dan Rasul sederajat dengan Sayyid yang ada dalam kultur mereka sebelumnya. Yakni kesayyidan yang diperoleh karena sebab-sebab duniawi yang selalu mereka agung-agungkan. Lebih jelasnya, dengan ucapan tersebut seakan-akan beliau bersabda: “Bertutur katalah dengan bahasa yang dipakai orang-orang yang seagama dengan kalian (agama Islam) dan panggilah aku Nabi dan Rasul sebagaimana Allah SWT menyebutku dalam kitabNya. Jangan kalian menyebutku sebagai Sayyid sebagaimana kalian menyebut para pembesar kalian (sebelum masuk Islam). Jangan kalian samakan aku dengan mereka karena aku tidak sama dengan seorangpun di antara mereka. Sebab, mereka tidak lebih rendah dari kalian dalam hal-hal duniawi, dan sesungguhnya aku menjadi Sayyid kalian atas kenabian dan kerasulan. Maka sebutkan aku sebagai Nabi dan Rasul, atau hindari sebagian perkataan kalian (itu) dan bersikaplah sederhana didalamnya tanpa berlebihan atau hindarilah panggilan Sayyid (dengan makna hakiki)  dan katakanlah Nabi dan Rasul...” demikian penafsiran as-Suyuthi.





Kendati begitu, mengingat larangan tersebut disebabkan ketawadhu’an beliau dan kekhawatiran atas kesalah pahaman para sahabatnya, maka pada hakikatnya beliau tidak melarang penyebutan gelar Sayyid pada dirinya. Terbukti beliau sendiri memberi suri tauladan dalam penghormatan pada orang-orang terpandang dengan penyebutan gelar Sayyid, sebagaimana sanjungan beliau (Nabi) pada cucunya yakni Hasan bin ‘Ali dengan ucapan :





إِنَّ ابْنِيْ هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ





“Sungguh anakku ini adalah Sayyid, semoga Allah mendamaikan di antara dua golongan besar dari orang-orang Islam dengannya.” (HR. Bukhari).





Dua kelompok yang dimaksudkan di atas yaitu Kelompok yang setia kepada Ayahnya yaitu Sayyidina ‘Ali dan Kelompok Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.





Begitu pula pengakuan beliau (Nabi) pada Sa’ad bin Mu’adz :





قُوْمُوْا إِلَى سَيِّدِكُمْ





“Berdirilah pada Sayyid kalian.” (HR. Bukhari)





Tidak ketinggalan para sahabat pun mencontohnya, semisal do’a shalawat Ibn Mas’ud, pelayan setia Rasulullah SAW:





اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِاْلمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ اْلمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ





“Ya Allah, limpahkanlah shalawat, rahmat dan berkahmu pada pemimpin para utusan, pemimpin orang-orang yang bertaqwa dan pamungkas para Nabi.” (HR. Ibnu Majjah)





Bahkan Sahal bin Hunaif memanggil Nabi SAW dengan berseru





يَا سَيِّدِيْ





“Wahai tuanku!”(HR. Abu Dawud)





Begitu pula pujian Sayyidina ‘Umar kepada Sayyidina Abu Bakar dan Bilal :





أَبُوْ بَكْرٍ سَيِّدُنَا وَأَعْتَقَ سَيِّدَنَا يَعْنِىْ بِلَالًا





“Abu Bakar adalah tuanku dan memerdekakan tuanku (Bilal).” `





Perlu kita renungkan, apakah layak kita memanggil ayah dan ibu kita langsung dengan namanya? Apakah pantas kita menyebut guru-guru kita dengan namanya secara langsung, tanpa mencerminkan penghormatan kepada mereka? Tidakkah Alla SWT berfirman :





لَاتَجْعَلُوْا دُعَاءَ الرَّسُوْلِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا





Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain.” (QS. An-Nur: 63)





Tidakkah dalam al-Qur’an Allah SWT selalu menghormati beliau dengan gelar kenabian dan kerasulannya tanpa menyebut langsung namanya?





Oleh sebab itu, Hadits pertama tersebut tidak bisa dipahami sebagai larangan penyebutan Sayyid kepada beliau. Pengakuan langsung Nabi SAW atas kesayyidannya, persetujuan kepada para sahabat atas panggilan Sayyid kepadanya dan ijma’ para ulama merupakan dasar yang kokoh atas keabsahan penyematan gelar Sayyid baginya. 


Wallahu a’lam.


No comments

Powered by Blogger.