Tenggelam Dan Bergeser Menjadi Bukti Ketidakabadian
Bacaan kisah Nabi Ibrahim AS, ketika melihat, berfikir dan merenungkan bintang-bintang, matahari dan bulan. Ketika ia bermaksud membatalkan asumsi kaumnya yang mempertuhankan selain Allah, ia berpikir secara rasional bahwa bintang-bintang, matahari dan bulan tersebut selalu berubah, tenggelam, bergerak dan berpindah dari satu kondisi ke kondisi yang lain, dan demikian itu menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak boleh terjadi pada Tuhan. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا
جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ
قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ. (الأنعام 76
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat
sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang
tenggelam". (QS. al-An’am : 76).
Ayat di atas memberikan pengertian, bahwa perubahan
bintang dari kelihatan, kemudian tenggelam, membuktikan bahwa bintang itu bukan
Tuhan. Karena bergeser dan tenggelam bukanlah sifat Tuhan, akan tetapi sifat
makhluk yang baru. Orang-orang Arab dulu meyakini bahwa Matahari itu berputar
mengelilingi bumi dan terbenam dengan sendirinya. Tenggelamnya Matahari yang
mereka saksikan adalah gerakan yang mereka namakan aful (tenggelam), karena
tenggelam berarti bergerak dan lenyap. Demikian penafsiran ulama salaf terhadap
ayat tersebut. Al-Imam Qatadah bin Du’amah al-Sadusi (w. 118 H) berkata:
ذكر
لنا نبي الله إبراهيم صلى الله عليه وسلم بعدما أراه الله ملكوت السماوات .... علم
أن ربه دائم لا يزول
Nabi Ibrahim SAW menyebutkan kepada kita, setelah
Allah memperlihatkan kerajaan langit padanya, maka ia meyakini bahwa Tuhannya
kekal dan tidak lenyap. (Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 4 hlm 1329 [7515],
al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, juz 9 hlm 356 dan Tafsir
Ibnu Katsir hlm 700). Qatadah juga menafsirkan lafal afilin dengan makna
lenyap. (Tafsir Ibnu Abi Hatim, juz 4 hlm 1329 [7516]).
Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh ulama
salaf yang lain. Al-Imam al-Akhfasy al-Ausath (w. 215 H), pakar gramatika Arab,
berkata:
وإنما
هذا مثل ضربَه لهم ليعرفوا إذا هو زال : لا ينبغي أن يكون مثله إلهاً ، وليدلهم
على وحدانية الله ، وأنه ليس مثله شيء
Ucapan Nabi Ibrahim di atas hanyalah
perumpamaan yang dibuat oleh beliau kepada kaumnya, agar mereka mengetahui
apabila bintang tersebut lenyap dan tenggelam, maka hal yang seperti itu tidak
layak menjadi Tuhan. Ia bermaksud menunjukkan kepada mereka tentang keesaan
Allah dan tidak ada sesuatu apa pun yang serupa dengan Allah. (Ma’ani
al-Qur’an, hlm 306 [398]).
Ibnu Qutaibah al-Dinawari (w. 276 H) juga berkata:
أراهم
النقص الداخل على النجم بالأفول لأنه ليس ينبغي لإله أن يزول ولا أن يغيب واعتبر
مثل ذلك في الشمس والقمر حتى تبين للقوم ما أراد من غير جهة العناد والمبادأة
بالتنقص والعيب
.
Nabi Ibrahim AS memperlihatkan kepada kaumnya
tentang kekurangan yang terdapat pada bintang berupa tenggelam. Karena
tenggelam dan lenyap tidak layak bagi tuhan. Demikian pula matahari dan bulan,
sehingga apa yang dikehendaki Ibrahim menjadi jelas bagi kaumnya tanpa menentang
mereka dan memulai dengan mengurangi dan mencela. (Ibnu Qutaibah, Ta’wil
Musykil al-Qur’an, hlm 336).
Pakar bahasa yang hidup pada masa salaf, al-Imam
al-Zajjaj al-Hanbali (w. 310 H) juga berkata:
لا
أحب من كانت حالته أن يطلع ويسير على هيئة يتبين معها أنه محدث منتقل من مكان إلى
مكان ، كما يفعل سائر الأشياء التي أجمعتم معي على أنها ليست بآلهة أي لا أتخذ ما
هذه حاله إلهاً ، كما أنكم لا تتخذون كل ما جرى مجرى هذا من سائر الأشياء آلهة
Aku tidak suka sesuatu yang keadaanya terbit dan
berjalan dengan cara yang menampakkan bahwa ia sebenarnya perkara baru yang
berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, sebagaimana terjadai pada
benda-benda yang kalian sepakati bersama bahwa hal itu bukanlah tuhan-tuhan.
Yakni, aku tidak menganggap hal-hal tersebut sebagai tuhan. Sebagaimana kalian
tidak menganggap hal-hal yang berlaku demikian sebagai tuhan. (Al-Zajjaj,
Ma’ani al-Qur’an wa I’rabuhu, juz 2 hlm 266).
Pemimpin Ahlussunnah, Abu al-Hasan al-Asy’ari (w.
324 H) juga berkata:
فأما
الحركة والسكون والكلام فيهما فأصلهما موجود في القرآن وهما يدلان على التوحيد ،
وكذلك الاجتماع والافتراق ، قال الله تعالى مخبراً عن خليله إبراهيم صلوات الله
عليه وسلامه : (فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ) الأنعام 76 في قصة
أفول الكوكب والشمس والقمر وتحريكها من مكان إلى مكان ما دلَّ على أن ربه عز وجل
لا يجوز عليه شيء من ذلك ، وأن من جاز عليه الأفول والانتقال من مكان إلى مكان
فليس بإله
Adapun bergerak dan diam dan pembicaraan
mengenai keduanya, maka dasarnya terdapat dalam al-Qur’an, dan keduanya
(bergerak dan diam) menunjukkan pada keesaan Tuhan, demikian pula bekumpul dan
berpisah. Allah SWT telah berfirman menceritakan tentang kekasih-Nya, Nabi
Ibrahim SAW: “Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya
tidak suka kepada yang tenggelam". (QS. al-An’am : 76), dalam kisah
tenggelamnya bintang, matahari dan bulan, serta pergerakannya dari satu tempat
ke tempat lain, yang menunjukkan bahwa hal tersebut tidak boleh terjadi pada
tuhan. Dan bahwa sesuatu yang boleh tenggelam dan berpindah dari satu tempat ke
tempat lain, bukanlah tuhan. (Al-Asy’ari, Risalah fi Istihsan al-Khaudh fi ‘Ilm
al-Kalam, hlm 45).
Al-Imam Abu Bakar al-Sijistani (w. 330 H) juga
berkata:
القيوم
: هو القائم الدائم الذي لا يزول ، وليس من قيام على رِجْل
Al-Qayyum adalah yang Maha Berdiri lagi Maha Kekal
yang tidak lenyap, dan bukan berdiri di atas kaki. (Nuzhah al-Qulub, hlm 158).
Al-Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) berkata:
وأيضاً
محاجة إبراهيم قومه في النجوم ، وما ذكر بالأفول والغيبة ، ولم يحاجهم بأن لا يحب
رباً يُرى ، ولكن حاجهم بأن لا يحب رباً يأفل ، إذ هو دليل عدم الدوام.
Perdebatan Nabi Ibrahim terhadap kaumnya tentang
bintang-bintang serta apa yang ia sebutkan berupa tenggelam dan lenyap. Ia
tidak mendebat mereka bahwa ia tidak senang pada Tuhan yang bisa dilihat, akan
tetapi mendebat mereka bahwa ia tidak senang pada tuhan yang tenggelam, karena
hal itu menjadi bukti ketidak abadian. (Al-Maturidi, al-Tauhid hlm 142).
Al-Imam al-Baihaqi (w. 458 H) berkata:
فلما
رأى أفولها - أي الشمس - وزوالها ، وتبيّن له كونها محل الحوادث والتغيرات ،
تبرَّأ منها كلها ، وانقطع عنها إلى رب هو خالقها ومنشئها ، لا تعترضه الآفات ،
ولا تحله الأعراض والتغيرات
Setelah Nabi Ibrahim melihat tenggelam dan
bergesernya Matahari, dan jelas baginya bahwa Matahari tersebut tempatnya
banyak kejadian dan perubahan, maka ia melepaskan diri dari semuanya, dan
kembali sepenuhnya kepada Tuhan yang menciptakan dan mengadakannya, yang tidak
pernah didatangi penyakit dan tidak ditempati kejadian dan perubahan.
(Al-Baihaqi, al-Asma’ wa al-Shifat, hlm 270).
Demikian pernyataan para ulama salaf yang saleh dan
pengikut mereka dari kalangan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang menafsirkan
argumentasi Nabi Ibrahim AS dengan tenggelam dan bergesernya bintang, Matahari
dan bulan sebagai bukti ketidak abadiannya. Tuhan Yang Maha Kekal pasti tidak
memiliki sifat-sifat tersebut. Allah menamakan argumentasi Nabi Ibrahim
tersebut dengan hujjah yang diakui oleh-Nya dalam firman-Nya:
وَتِلْكَ
حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ. (الأنعام 83)
Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada
Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. (QS. al-An’am: 83).
Nabi Ibrahim AS juga berkata kepada kaumnya:
قَالَ
يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ. (الأنعام 78).
Dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. (QS. al-An’am: 78).
Dengan demikian, kita wajib mengikuti jejak Nabi
Ibrahim AS dan berdalil dengan akal kita sebagaimana yang telah dilakukannya,
agar kita sampai pada keyakinan bahwa Allah itu tidak menyerupai apapun dari
makhluk-Nya dan tidak ada apapun yang menyerupai-Nya. Berdalil dengan akal
tentang adanya Allah termasuk asas-asas metodologi yang islami menurut semua
para nabi. Oleh karena itu golongan Maturidiyah mensyaratkan setiap orang harus
ma’rifat kepada Allah dengan dalil ‘aqli, meskipun dengan satu dalil. Demikian
ini bukan berarti umat Islam harus menggunakan ilmu filsafat sebagaimana asumsi
sebagian orang, akan tetapi maksudnya menggunakan dalil apapun yang realistis
yang mengantar pada keyakinan tentang adanya Allah, seperti halnya al-Imam
al-Syafi’i berdalil dengan daun besaran atas adanya Allah.
Paparan di atas memberikan kesimpulan, bahwa
dalil-dalil rasional yang digunakan oleh para ulama ahli kalam memiliki dasar
dalam al-Qur’an dan hadits. Wallahu a’lam.
WAHABI: Owh, ternyata konsep ilmu kalam itu
memiliki dasar yang kuat ya dalam al-Qur’an dan hadits. Luar biasa.
SUNNI: Saya mau bertanya kepada Anda, percayakan
Anda bahwa konsep akidah Wahabi tentang ketuhanan, sama buruknya dengan konsep
Mu’tazilah dan Syiah, atau justru lebih buruk?
WAHABI: Saya tidak percaya, Anda pasti ngarang.
SUNNI: Tunggu catatan berikutnya. Insya Akan saya
buktikan bahwa konsep akidah Wahabi tentang ketuhanan lebih buruk daripada
Mu’tazilah dan Syiah.
WAHABI: Baik, akan saya tunggu.
Sumber: Syaikh Muhammad Idrus Ramli
Komentar