Dalil Kebolehan Menjalankan Tradisi yang Belum Ada Contoh dari Nabi







WAHABI:
“Mayoritas umat Islam Indonesia itu ahli bid’ah, karena mereka masih kuat
memegang tradisi-tradisi yang berkembang dari nenek moyang mereka sebelumnya.
Sedangkan Islam itu jelas anti tradisi. Islam itu hanya al-Qur’an dan hadits
saja.’









SUNNI:
“Pernyataan Anda berangkat dari konsep yang keliru, yakni beranggapan bahwa
Islam anti tradisi. Padahal tidak demikian. Dalam pernyataan Anda ada dua
kesalahan fatal.



Pertama, menganggap dasar Islam hanya al-Qur’an dan hadits.
Padahal sejak masa ulama salaf, dasar agama itu ada empat, al-Qur’an, hadits,
ijma’ dan Qiyas. Kedua, Anda berasumsi bahwa Islam anti tradisi. Padahal tidak
demikian. Tradisi itu ada yang dapat diterima oleh Islam dan ada yang tidak
dapat diterima. Cara berpikir Anda sangat picik dan sempit.”









WAHABI:
“Mana dalil Anda bahwa Islam dapat menerima tradisi?”









SUNNI:
“Anda harus memahami, bahwa Islam itu agama. Islam bukan budaya dan bukan
tradisi. Tapi harus dipahami bahwa Islam tidak anti budaya dan tradisi. Bahkan
ketika suatu budaya dan tradisi masyarakat yang telah berjalan tidak dilarang
dalam agama, maka dengan sendirinya menjadi bagian dari syari’ah Islam.
Demikian ini sesuai dengan dalil-dalil al-Qur’an, Hadits dan atsar kaum salaf
yang dipaparkan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang mu’tabar (otoritatif).









1.
Tradisi menurut al-Qur’an.









Allah
subhanahu wata’ala berfirman:









خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
(الأعراف: 199)









Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang
bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).









Dalam
ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar
menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas
adalah tradisi yang baik. Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:









وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ الْمَعْنَى
اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْفُ









Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas
adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.”
(Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2/836).









Penafsiran
‘urf dengan tradisi yang baik dan telah dikenal masyarakat dalam ayat di atas,
sejalan dengan pernyataan para ulama ahli tafsir. Al-Imam al-Nasafi berkata
dalam tafsirnya:









)وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ) هُوَ كُل خَصْلَةٍ يَرْتَضِيْهَا الْعَقْلُ وَيَقْبَلُهَا الشَّرْعُ
.









Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf, yaitu setiap
perbuatan yang disukai oleh akal dan diterima oleh syara’.” (Tafsir al-Nasafi,
juz 2 hlm 82).









Al-Imam
Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i juga berkata:









)وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ) أَيْ بِكُلِّ مَا عَرَفَهُ الشَّرْعُ وَأَجَازَهُ، فَإِنَّهُ مِنَ الْعَفْوِ
سُهُوْلَةً وَشَرَفاً









Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf, yaitu setiap
perbuatan yang telah dikenal baik oleh syara’ dan dibolehkannya. Karena hal
tersebut termasuk sifat pemaaf yang ringan dan mulia.” (Al-Biqa’i, Nazhm
al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, juz 3 hlm 174).









Oleh
karena yang dimaksud dengan ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik,
al-Imam al-Sya’rani berkata:









وَمِنْ أَخْلاَقِهِمْ أَي السَّلَفِ الصَّالِحِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
تَوَقُّفُهْم عَنْ كُلِّ فِعْلٍ أَوْ قَوْلٍ حَتَّى يَعْرِفُوْا مِيْزَانَهُ عَلىَ
الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَوِ الْعُرْفِ، لأَنَّ الْعُرْفَ مِنْ جُمْلَةِ الشَّرِيْعَةِ،
قَالَ اللهُ تَعَالَى: خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
(الأعراف: 199)









Di antara budi pekerti kaum salaf yang shaleh, semoga Allah
meridhai mereka, adalah penundaan mereka terhadap setiap perbuatan atau ucapan,
sebelum mengetahui pertimbangannya menurut al-Qur’an dan hadits atau tradisi.
Karena tradisi termasuk bagian dari syari’ah. Allah SWT berfirman: “Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf (tradisi yang baik),
serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf: 199).”
(Al-Imam al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, hlm 14).









Paparan
di aras memberikan kesimpulan, bahwa tradisi dan budaya termasuk bagian dari
syari’ah (aturan agama), yang harus dijadikan pertimbangan dalam setiap
tindakan dan ucapan, berdasarkan ayat al-Qur’an di atas.”









WAHABI:
“Owh, ternyata ajaran al-Qur’an tidak menolak tradisi dan budaya, selama tidak
bertentangan dengan agama. Sekarang, apakah ada dalil hadits yang menguatkan
paparan di atas?”









SUNNI:
“Jelas ada. Islam itu datang tidak untuk menghapus tradisi, tetapi dalam
rangkamemperbaiki dan menyempurnakan tradisi. Dalam hadits diterangkan:









عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ. أخرجه أحمد
، وابن سعد والحاكم وصححه على شرط مسلم. والبيهقى و الديلمى










Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk
menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” (HR. Ahmad [8939], Ibnu Sa’ad (1/192),
al-Baihaqi [20571-20572], al-Dailami [2098], dan dishahihkan oleh al-Hakim
sesuai dengan syarat Muslim (2/670 [4221]).









Dalam
banyak tradisi, seringkali terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur, dan
Islam pun datang untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, kita dapati beberapa
hukum syari’ah dalam Islam diadopsi dari tradisi jahiliah seperti hukum
qasamah, diyat ‘aqilah, persyaratan kafa’ah (keserasian sosial) dalam
pernikahan, akad qiradh (bagi hasil), dan tradisi-tradisi baik lainnya dalam
Jahiliyah. Demikian diterangkan dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana puasa
Asyura, juga berasal dari tradisi Jahiliyah dan Yahudi, sebagaimana
diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.









Islam
juga sangat toleran terhadap tradisi. Dalam hadits lain diterangkan:









عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِهِ فِيْ بَعْضِ
أَمْرِهِ، قَالَ : «
بشِّروا
ولا تُنَفِّرُوا، ويسِّروا ولا تُعَسِّروا
». رواه مسلم.









Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang
suatu urusan, beliau akan berpesan: “Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan
membuat mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR.
Muslim [1732]).









Hadits
di atas memberikan pesan bahwa Islam itu agama yang memberikan kabar gembira,
dan tidak menjadikan orang lain membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit,
antara lain dengan menerima system dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan.
Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi
yang telah berjalan lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman
mereka. Oleh karena itu dalam konteks ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:









عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ
فِيهَا حُرُمَاتِ اللهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا. رواه البخاري









Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya,
mereka (kaum Musyrik) tidaklah meminta suatu kebiasaan (adat), dimana mereka
mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku kabulkan permintaan mereka.” (HR.
al-Bukhari [2581]).









Dalam
riwayat lain disebutkan:









أَمَّا وَاللهِ لاَ يَدْعُونِي الْيَوْمَ إِلَى خُطَّةٍ ، يُعَظِّمُونَ
فِيهَا حُرْمَةً ، وَلاَ يَدْعُونِي فِيهَا إِلَى صِلَةٍ إِلاَّ أَجَبْتُهُمْ إِلَيْهَا.
رواه ابن أبي شيبة









Ingatlah, demi Allah, mereka (orang-orang musyrik) tidak
mengajakku pada hari ini terhadap suatu kebiasaan, dimana mereka mengagungkan
hak-hak Allah, dan tidak mengajukku suatu hubungan, kecuali aku kabulkan ajakan
mereka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, [36855]).









Hadits
di atas memberikan penegasan, bahwa Islam akan selalu menerima ajakan kaum
Musrik pada suatu tradisi yang membawa pada pengagungan hak-hak Allah dan
ikatan silaturrahmi. Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak anti tradisi.”









Perhatian
Islam terhadap tradisi juga ditegaskan oleh para sahabat, antara lain Abdullah
bin Mas’ud yang berkata:









قال عبد الله بن مسعود: مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ
اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ.
رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم









Abdullah
bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik
pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek
pula menurut Allah.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”









WAHABI:
“Apa yang Anda paparkan itu kan konsep umum. Kami masih harus menggugat, apakah
konsep tersebut dipraktekkan oleh para ulama sejak generasi salaf?”









SUNNI:
“Anda ini bagaimana, diberi konsep, malah tanya penerapannya di kalangan ulama.
Ya pasti hal tersebut dipraktekkan oleh para ulama.”









WAHABI:
“Mana buktinya bahwa para ulama salaf menerapkan konsep yang Anda paparkan
tersebut.”









SUNNI:
“Anda ini lucu, masak ulama salaf tidak mengamalkan konsep yang sangat jelas
dalam al-Qur’an dan hadits? Ya jelas banyak contohnya. Dalam kitab-kitab hadits
diriwayatkan:









عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ صَلَّى عُثْمَانُ بِمِنًى
أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللهِ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَيْنِ
وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا
مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا. قَالَ الأَعْمَشُ فَحَدَّثَنِى مُعَاوِيَةُ بْنُ
قُرَّةَ عَنْ أَشْيَاخِهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ صَلَّى أَرْبَعًا قَالَ فَقِيلَ لَهُ
عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ الْخِلاَفُ شَرٌّ. رواه أبو
داود والبيهقي









Dari
Abdurrahman bin Yazid, berkata: “Utsman menunaikan shalat di Mina empat
raka’at.” Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku shalat bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dua raka’at. Bersama Abu Bakar dua raka’at.
Bersama Umar dua raka’at. Bersama Utsman pada awal pemerintahannya dua raka’at.
Kemudian Utsman menyempurnakannya (empat raka’at). Ternyata kemudian Abdullah
bin Mas’ud shalat empat raka’at. Lalu beliau ditanya: “Anda dulu mencela Utsman
karena shalat empat raka’at, sekarang Anda justru shalat empat raka’at juga.”
Ia menjawab: “Berselisih dengan jama’ah itu tidak baik.” (HR. Abu Dawud dan
al-Baihaqi).









Perhatikan
dalam riwayat di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Khalifah Abu
Bakar dan Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhuma menunaikan shalat di Mina (ketika
menunaikan ibadah haji, dengan di-qashar) dua raka’at. Kemudian Khalifah Utsman
tidak melakukan qashar. Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mencela Khalifah
Utsman karena tidak melakukaan qashar shalat sebagaimana dilakukan oleh
pemimpin sebelumnya. Meski begitu, karena Khalifah Utsman dan umat Islam pada
saat itu tidak melakukajn qashar, Ibnu Mas’ud juga tidak melakukan qashar, demi
menjaga kebersamaan dengan jama’ah, karena berbeda dengan jama’ah suatu
keburukan. Lalu Anda bandingkan dengan sikap sebagian ormas Wahabi di
Indonesia, setiap awal Ramadhan dan Syawal selalu berbeda dengan pemerintah dan
mayoritas umat Islam dalam menetapkan waktu ibadah. Kaum Wahabi juga demikian,
senang berbeda dengan umat Islam di sekitarnya, karena tidak tahu bahwa berbeda
dengan mayoritas umat Islam itu suatu keburukan dalam kacamata ulama salaf.









Dalam
kitab-kitab sejarah disebutkan:









قال محمد بن رافع : " كنت مع أحمد بن
حنبل وإسحاق عند عبدالرزاق فجاءنا يوم الفطر ، فخرجنا مع عبدالرزاق إلى المصلى ومعنا
ناس كثير ، فلما رجعنا من المصلى دعانا عبدالرزاق إلى الغداء ، فقال عبدالرزاق لأحمد
وإسحاق : رأيت اليوم منكما عجباً ، لمْ تكبّرا !قال أحمد وإسحاق : يا أبابكر ، نحن
كنا ننظر إليك : هل تكبّر فنكبّر ؟ فلما رأيناك لم تكبّر أمسكنا .قال : أنا كنت أنظر
إليكما : هل تكبران فأكبّر
"









Muhammad bin Rafi’ berkata: “Aku bersama Ahmad bin Hanbal
dan Ishaq di tempat Abdurrazzaq. Lalu kami memasuki hari raya Idul Fitri. Maka
kami berangkan ke mushalla bersama Abdurrazzaq dan banyak orang. Setelah kami
pulang dari mushalla, Abdurrazzaq mengajak kami sarapan. Lalu Abdurrazzaq
berkata kepada Ahmad dan Ishaq: “Hari ini saya melihat keaneha pada kalian
berdua. Mengapa kalin tidak membaca takbir?” Ahmad dan Ishaq menjawab: “Wahai
Abu Bakar, kami melihat engkau apakah engkau membaca takbir, sehingga kami juga
bertakbir. Setelah kami melihat engkat tidak bertakbir, maka kami pun diam.”
Abdurrazzaq berkata: “Justru aku melihat kalian berdua, apakah kalian
bertakbir, sehingga aku akan bertakbir juga.” (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tarikh
Dimasyq, juz 36 hlm 175; dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’juz, 9 hlm 566
).









Perhatikan
dalam riwayat di atas, bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih
tidak bertakbir ketika berangkat ke mushalla pada hari raya idul fitri, karena
melihat guru mereka, Imam Abdurrazzaq al-Shan’ani tidak bertakbir. Sementara
Imam Abdurrazzaq tidak bertakbir, karena melihat kedua muridnya yang sangat
alim tidak bertakbir. Suatu budi pekerti yang sangat bagus, meninggalkan amalan
sunnah, karena khawatir menyinggung perasaan orang di sekitarnya.









Paparan
di atas semakin jelas apabila kita membaca pernyataan al-Imam Ibnu Muflih
al-Maqdisi al-Hanbali, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berkata dalam kitabnya
al-Adab al-Syar’iyyah sebagai berikut:









وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لاَ يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ
عَادَاتِ النَّاسِ إلاَّ فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ)
وَقَالَ عُمَرُ لَوْلاَ أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ
الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لإِنْكَارِ النَّاسِ
لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ
ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لا يَعْرِفُونَهُ،
وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ
يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية،
٢/٤٧
(









Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik
keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya
kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Umar berkata:
“Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, tentu aku
tulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at
sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul
disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal
pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata,
“Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan
melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari
raya). Beliau berkata, “Saya khawatir sebagian orang-orang yang melihat akan
ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibnu Muflih al-Hanbali, al-Adab
al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).









Kaedah
di atas sangat jelas, agar kita mengikuti tradisi masyarakat, selama tradisi
tersebut tidak haram. Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan shalat sunnah qabliyah
Jum’at, juga karena tradisi masyarakatnya yang tidak pernah melakukannya dan
menganggapnya tidak sunnah, untuk menjaga kebersamaan dan kerukunan dengan
mereka.









Syaikh
Ibnu Taimiyah, ulama panutan kaum Wahabi juga berkata:









إذا اقتدى المأموم بمن يقنت في الفجر أو الوتر قنت معه ، سواء قنت قبل
الركوع أو بعده ، وإن كان لا يقنت لم يقنت معه ، ولو كان الإمام يرى استحباب شيء والمأمومون
لايستحبونه ، فتركه لأجل الإتفاق والإئتلاف كان قد أحسن ... وكذلك لو كان رجل يرى الجهر
بالبسملة فأمّ قوماً لا يستحبونه أو بالعكس ووافقهم فقد أحسن
"









Apabila makmum bermakmum kepada imam yang membaca qunut
dalam shalat shubuh atau witir, maka ia membaca qunut bersamanya, baik ia
membaca qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’. Apabila imamnya tidak membaca
qunut, maka ia juga tidak membaca qunut. Apabila imam berpendapat sunnahnya
sesuatu, sementara para makmum tidak menganggapnya sunnah, lalu imam tersebut
meninggalkan sesuatu itu demi kekompakan dan kerukunan, maka ia telah melakukan
kebaikan. Demikian pula apabila seorang laki-laki berpendapat mengeraskan
membaca basmalah dalam shalat, lalu menjadi imam suatu kaum yang tidak
menganjurkannya, atau sebaliknya, dan ia menunaikan shalat seperti madzhab
mereka, maka ia benar-benar melakukan kebaikan.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’
Fatawa, juz 22 hlm 268).









Paparan
di atas memberikan kesimpulan suatu kaedah, bahwa keluar dari tradisi
masyarakat itu tidak baik, selama tradisi tersebut tidak diharamkan dalam
agama. Kaedah tersebut didasarkan pada al-Qur’an, hadits, atsar para sahabat
dan ulama salaf yang shaleh. Para ulama salaf yang shaleh terkadang
meninggalkan amalan sunnah, semata menjaga kebersamaan dengan kaumnya yang
menganggapnya tidak sunnah, sebagaimana banyak diceritakan dalam kitab-kitab
sejarah dan hadits. Tidak jarang pula fatwa-fatwa para ulama juga berubah
sesuai dengan perubahan tradisi, sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab ushul
fiqih dan qawa’id. Terdapat sebelas macam kaedah fiqih yang berkaitan dengan
tradisi. Bahkan Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah sangat membela kaedah tradisi
berikut ini:









تتغير الأحكام بتغير الأحوال والأزمان









Hukum-hukum agama dapat berubah sebab perubahan tradisi
dan perkembangan zaman.”









Hal
tersebut sebagaimana ditegaskan dalam kitabnya A’lam al-Muwaqqi’in. Tentu saja
hukum-hukum yang berubah sebab tradisi bukan hukum-hukum yang ditetapkan
berdasarkan nash yang mutlak seperti wajibnya shalat lima waktu dan semacamnya.









Kiranya
paparan sekelumit ini menjadi pelajaran bagi kita tentang pentingnya menjaga
tradisi yang baik dan tidak bertentangan dengan agama.”









WAHABI:
“Owh, begitu ya. Terima kasih.”












Bersambung, insya Allah.









Sumber: Dokumen Syeikh Muhammad Idrus Ramli







No comments

Powered by Blogger.