Ibnu Baz Membolehkan Tahlilan, Suguhan Kematian
MAKAM TEUNGKU AHMAD KHATIB (Salah satu Ulama Pengarang Kitab Lapan) |
WAHABI: “Mengapa umat Islam mempertahankan Tahlilan?”
SUNNI: “Alasannya karena itu tradisi Islami.”
WAHABI: “Loh, mana dalilnya?”
SUNNI: “Loh, kok bertanya dalil. Hal ini suatu hal yang umum dalam pengetahuan agama. Coba anda perhatikan pernyataan Syekh Ibnu Baz, mufti Wahabi, dalam fatwanya berikut ini:
حكم حضور مجلس العزاء والجلوس فيه
س : هل يجوز حضور مجلس العزاء والجلوس معهم ؟ (1)
ج : إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب ؛ لما فيه من الجبر لهم والتعزية ، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس كعادة الناس مع زوارهم
HUKUM MENGHADIRI MAJLIS TA’ZIYAH (TAHLILAN) DAN DUDUK-DUDUK DI SANA.
Soal: Bolehkah menghadiri majlis ta’ziyah dan duduk-duduk bersama mereka?
Jawab: Apabila seorang Muslim menghadiri majlis ta’ziyah yang diadakan oleh keluarga si mati (semacam majlis tahlilan), maka hal itu disunnahkan, karena termasuk menghibur mereka. Apabila minum segelas kopi atau teh, atau memakai parfum suguhan keluarga duka cita, maka tidak apa-apa, seperti tradisi masyarakat terhadap para pengunjungnya. (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibn Baz, 13/371).
Coba Anda perhatikan, dalam fatwa Syaikh Ibnu Baz di atas ada beberapa kesimpulan:
1) Membolehkan keluarga duka cita mengadakan majlis ta’ziyah semacam tahlilan.
2) Membolehkan para tamu meminum segelas kopi dan teh, atau memakai parfum suguhan keluarga duka cita.
3) Dasar Syaikh Ibnu Baz, karena hal tersebut termasuk menghibur keluarga duka cita. Dalam majlis Tahlilan, semakin banyak yang hadir, semakin terhibur pula keluarg duka cita.
4) Dasar Syaikh Ibnu Baz lagi, karena hal tersebut termasuk tradisi masyarakat bersama para pengunjung tahlilannya.
5) Syaikh Ibnu Baz tidak menyampaikan dasar al-Qur’an dan Hadits sama sekali mengenai hukum yang beliau keluarkan. Dasar beliau hanya tradisi.
WAHABI: “Kemarin Anda mengatakan bahwa kaedah, [baca hasil diskusi sebelumnya di sini].
الأصل في العبادات التوقيف
Hukum asal dalam ibadah adalah mengikuti tuntunan
Anda mengatakan kaedah tersebut tidak ada dalam kitab-kitab fuqaha, padahal disebutkan dalam banyak kitab, seperti dalam al-Bahjah al-Wardiyyah karya Syaikhul-Islam Zakariya dan Ghayah al-Bayan Syarh Zubad Ibn Ruslan karya al-Ramli. Bagaimana tanggapan Anda?”
SUNNI: “Saya bertanya kepada Anda, kaedah tersebut disebutkan dalam kedua kitab tersebut berapa kali? Satu kali kan?
Kalau ini kaedah umum yang berlaku pada banyak permasalahan, mengapa disebutkan hanya satu kali atau pada bab tertentu saja? Kok tidak berkali-kali dan di tempat yang banyak?
Mengapa dalam kitab tersebut justru lebih banyak menggunakan dalil qiyas dari pada kaedah tersebut, termasuk dalam bab ibadah?
Mengapa pula tidak disebuntukan dalam kitab-kitab yang khusus menjelaskan kaedah ushul dan fiqih seperti al-Asybah wa al-Nazhair?
Ini yang tidak dipahami oleh kaum Wahabi seperti al-Albani dan kawan-kawannya.
Hukum asal dalam semua hukum syar’i adalah al-ta’aqqul ma’na (bisa dirasionalkan), sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam kitab al-Mughni, sehingga memungkinkan dilakukannya qiyas. Baru kemudian, ketika para ulama fuqaha tidak menemukan alasan yang rasional bagi hukum syar’iy, maka mereka menyebuntukan bahwa hukum tersebut bersifat ta’abbud (perintah ibadah yang tidak bisa dirasionalkan namun sekedar ketundukkan kepada perintah Syari'). Nah, hukum yang semacam ini yang masuk dalam kategori al-ashlu fil-‘ibadat al-tawqif, seperti mengapa shalat shubuh dua raka’at, maghrib tiga raka’at, zhuhur, ashar dan isya’ empat raka’at.
Mengapa shalat berjamaah itu minimal dua orang, padahal jamaah secara bahasa minimal tiga orang. Nah, hukum-hukum yang semacam ini baru dikategorikan sebagai al-ashlu fil-‘ibadat al-tauqif. Karena itu kaedah ini tidak masuk dalam kitab-kitab kaedah fiqih, karena konteksnya terbatas, tidak bersifat umum.
Dan seandainya kaedah tersebut masuk dalam jajaran kaedah-kaedah yang terdapat dalam kitab-kitab kaedah fiqih, seperti al-Asybah wa al-Nazhair, kaedah tersebut tidak dapat dijadikan dalil dalam pengambilan hukum, karena tiga alasan:
1) Kaedah-kaedah fiqih sebagai besar sifatnya aghlabiyyah (hukum-hukum yang menjadi cakupannya bersifat mayoritas), dan masih terdapat banyak pengecualian.
2) Kaedah-kaedah fiqih itu dibuat oleh para fuqaha untuk memudahkan para pelajar menghafal hukum-hukum syar’iy yang memiliki kesamaan hukum dan dasar filosofi atau illat, jadi bukan untuk menjadi dalil bagi persoalan-persoalan baru yang belum diketahui hukumnya.
3) kaedah fiqih itu dibuat oleh para fuqaha setelah melalui penelitian tentang sebagian besar atau beberapa hukum yang memiliki kesamaan dasar-dasar filosofi dan memungkinkan terjadinya pengecualian dalam penerapannya, karena itu kaedah fiqih tidak bisa dijadikan dalil, karena konteks cakupan hukumnya sudah ada.
Sementara al-Albani al-Wahabi dan kawan-kawannya membuat kaedah sendiri, sementara cabang-cabangnya belum ketemu. Di sini al-Albani salah besar, karena ia belum pernah bertafaqquh (memahami masalah agama) secara matang. Masak ada ulama yang dipropagandakan oleh kaum Wahabi sebagai ulama terhebat, tapi gurunya hanya tiga orang, dan itu pun guru ketika masih di tingkat Ibtidaiyah (SD), yaitu al-Albani. Ini sangat tidak masuk akal.
WAHABI: “Maaf, sebagian ustadz wahabi ada yang menyalahkan dalil Anda tentang qiyas, yaitu atsar dari Anas bin Malik yang dianggap dha’if.”
SUNNI: “Dalil qiyas dalam hukum ibadah sangat banyak sekali, sebagian besar shahih. Yang dha’if menjadi kuat dengan yang shahih tersebut. Jadi bantahan si wahabi itu percuma dan tidak ada gunanya.”
Bersambung.
Dokumen Syaikh Muhammad Idrus Ramli
Komentar