Cara Berbakti Kepada Orang Tua Saat Berjauhan
Berbakti kepada orang tua bukanlah basa-basi sosial dengan prilaku dan pelayanan belaka. Akan tetapi hakekat berbakti adalah hati yang benar-benar mencintai orang tua. Itulah yang akan menghantarkan anak untuk rela mendahulukan kepentingan orang tua dari kepentingan dirinya sendiri.
Rela berkorban untuk orang tua. Tidak rela orang tua sakit dan susah. Jika rasa ini ada di hati, maka jarak tidaklah penting.
Kalau jarak anda jauh, hati anda secara otomatis akan menuntun anda berbakti dengan lahir anda mulai dari anda sering bertanya tentang keadaannya, mencukupi kebutuhannya, rindu untuk melihat wajahnya, berdoa untuknya, mengunjunginya ketika ada waktu luang dan lain-lain. Jika rasa ini tidak ada biarpun anda mengucap kalimat barbakti ribuan kali, ucapan itu semua akan terasa hampa tiada arti.
Berkata Syaikh Nawawi al-Bantani, dalam kitab-nya Tanqihul Qaul, berkata Sahabat Anas bin Malik r.a:
Di Zaman Rasulullah, ada seorang laki-laki yang bernama ‘Alqamah. Keadaanya banyak berijtihad, bersusah payah dalam mencari kebaikan dan dia juga banyak bersedekah.
Kemudian, suatu hari dia terjatuh sakit. Sakit yang sangat, dan bertambah parah sakitnya. Sehingga istri-nya mengirimkan utusan kepada Rasulullah Saw. (Sampai sekarang tradisi seperti ini masih banyak dijumpai, ketika mengalami kesulitan, masyarakat pada umum-nya berkunjung kepada Ulama sekitar untuk diharapkan dapat mengurangi kesulitannya).
Berkata istri ‘Alqamah, "Wahai Rasulullah, sungguh.. suamiku dalam keadaan naza' (sakit parah).., aku berharap banyak, supaya engkau melihat keadaanya".
Kemudian, Rasulullah-pun bersabda kepada para sahabat, "mari kita menjenguk, bagaimana keadaan-nya".
Lalu Sahabat Anas bin Malik, mengatakan juga: Ketika Rasulullah Saw memasuki rumahnya, beliau bersabda kepada-nya, "Wahai ‘Alqamah, bagaimana keadaanmu?". Dia tidak mengatakan sepatah kata, beliau tahu kalau dia lemah, tidak mampu berkata. Rasulullah men-talqin-nya, menuntun bacaan syahadat (ini juga dianjurkan ketika menjumpai seseorang yang naza' atau sakratul maut), akan tetapi ‘Alqamah tidak mampu mengikuti talqin Rasulullah, yang dilakukan dengan lembut dan penuh kasih sayang. Bahkan beliau mengulanginya beberapa kali.
Beliau menanyakan, apakah Si ‘Alqamah memiliki orang tua?, Bapaknya sudah meninggal, tapi ibunya sudah tua renta masih hidup jauh di sana. Demikian jawaban beberapa sahabat nabi dari pertanyaan Rasulullah Saw.
Kemudian Rasulullah Saw, mengutus beberapa sahabat, untuk meng-khabarkan keadaanya, kepada Ibu ‘Alqamah.
Singkat cerita, ibu ‘Alqamah mendatangi ‘Alqamah. Lalu Rasulullah bertanya kepada Umi ‘Alqamah. "Wahai umi ‘Alqamah.. bagaimana keadaan ‘Alqamah, menurutmu?
Ya.. Rasulullah, dia itu ahli puasa, ahli bersedekah, ahli shalat. Dia itu banyak melakukan kebaikan. Akan tetapi aku marah kepadanya, tidak ridha, karena dia anakku tapi mengutamakan istrinya dari pada aku.
Bergegas, kumpulkan kayu bakar. lalu bakarlah dia. Mendengar sabda nabi yang dikatakan kepada beberapa sahabat nabi tersebut, ibu ‘Alqamah mulai kasihan. Dia katakan kepada Rasulullah, wahai Rasulullah, jangan lakukan demikian kepada anakku, buah hatiku.
Intinya, Beliau bersabda kepada umi ‘Alqamah, Adzab Allah lebih pedih. Sungguh Allah Swt tidak ridha, kecuali dengan ridhamu, dan shalat, sedekah, puasa-nya anakmu tidak akan diterima, selagi engkau marah atau jengkel kepadanya.
Ya Rasulullah, aku bersaksi kepada Allah. Bahwa aku ridha kepada anakku ‘Alqamah. Berikut jawaban umi ‘Alqamah.
Kemudian, Rasulullah mentalqin ‘Alqamah, dan ‘Alqamah-pun dengan bibir-nya ia lafalkan dua kalimah syahadat, teriring mata tertutup, ruh meninggalkan raganya.
Komentar