Keadilan Adalah Kunci Sukses Sebuah Negara

Al-Ghazâlî, Hujjah al-Islâm, sang argumentator Islam, menulis dalam bukunya: ’al-Tibr al-Masbuk fî Nashîhah al-Mulûk’ bahwa “Sejarah dunia telah mencatat bahwa bangsa Majusi yang menyembah api di Persia pernah menguasai dunia, empat ribu tahun lamanya. “Mengapa bisa begitu lama bertahan?”, kata al-Ghazâlî dalam hatinya. Lalu al-Ghazâlî menjawab sendiri pertanyaannya: “Karena bangsa itu [Majusi] diperintah dan dipimpin oleh tangan-tangan yang adil dan orang-orang yang bekerja untuk kesejahteraan bangsanya, rakyatnya. Agama menurut mereka tidak membenarkan kezaliman dan penyimpangan”.

Secara tekstual kata-kata Imam al-Ghazali tersebut begini :

وفى التواريخ أن المجوس ملكوا امر العالم اربعة آلاف سنة . وكانت المملكة فيهم. وإنما دامت المملكة بعدلهم فى الرعية وحفظهم الامور بالسوية. وانهم ما كانوا يرون الظلم والجور فى دينهم وملتهم جائزا. وعمروا بعدلهم البلاد وانصفوا العباد. وقد جاء فى الخبر أن الله جل ذكره اوحى الى داود عليه السلام ان أنهِ قومك عن سب ملوك العجم فإنهم عمروا الدنيا وأوطنوها عبادى .(الامام الغزالى: التبر المسبوك فى نصيحة الملوك, مكتبة الكليات الازهرية, ص 50

Sebelumnya al-Ghazali mengutip firman Allah :

قل اللهم مالك الملك تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء وتذل من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيئ قدير. (آل عمران , 26

Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan (kekuasaan), Engkau berikan kerajaan (kekuasaan) kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Ali Imran, [3.26].

Hujjah al-Islâm itu tampak sekali bermaksud ingin menegaskan kembali mutiara agama yang dilupakan, bahwa “keadilan adalah kunci sukses sebuah negara-bangsa dan kezhaliman menjadi sumber kehancurannya”. Siapapun penguasa atau pemimpinnya, tidak peduli apa agamanya, apa suku bangsanya, apa warna kulitnya, apa jenis kelaminnya dan siapapun keturunannya, asalkan dia cakap dan mampu bertindak adil dan membenci kezaliman, menyejahterakaan rakyatnya dan bukan menyengsarakannya, maka negara dan rakyatnya akan berjaya dan makmur. Sebaliknya, siapapun penguasanya, agama apapun dia, dari suku manapun dia, dan jenis kelamin apapun, jika memimpin dengan cara-cara despotis, membiarkan kezaliman dan mengeksploitasi masyarakatnya, maka dia akan menciptakan kebangkrutan, kehancuran negara dan kesengsaraan rakyat. Al-Ghazâlî mengutip wahyu Tuhan untuk Nabi Dâwud: “laranglah kaummu mencacimaki orang asing. Mereka ikut memakmurkan dunia dan menyejahterakan hamba-hamba-Ku”.

Apa yang dimaksud “orang-orang asing” (al-‘ajam/the others) bisa berarti bangsa asing dan bisa orang-orang non muslim. Al-Mâwardi, ahli politik Islam klasik paling terkemuka, dalam salah satu kitabnya, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn mengatakan dengan tegas bahwa: “Jika keadilan adalah salah satu pilar dunia dan dunia tidak akan mungkin tegak tanpanya, maka hendaklah masing-masing orang memulai untuk bertindak adil”. Mengutip kata-kata orang bijak (al-hukamâ), al-Mâwardi kemudian mengatakan: Al-Mulku yabqa ma’a al ‘adl wa lâ yabqâ ’alâ al-zhulm” (negara akan eksis bersama keadilan dan tidak akan eksis bersama kezaliman). (Adab al-Dunyâ, 142).

Adalah menarik untuk dicermati bersama bahwa Kiai Sahal Mahfûdh, Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam salah satu tulisannya tampak sekali mendukung pernyataan Al-Mâwardi tersebut. Katanya :”Muara fiqh adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin Abi Thalib pernah berkata :”Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma’a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma’a al-muslimin”. Kiyai Sahal yang sangat alim dan rendah hati itu juga mengutip pandangan Seorang Ulama. Katanya: “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim, meskipun (negara) Muslim”. Maka, “dalam kerangka berfikir ini”, kata Kiai Sahal lebih jauh, “seandainya ada produk fiqh yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat, maka harus ditinggalkan”. (Lihat: Kritik Nalar Fiqh NU, hlm. xxii).

Al-Ghazâlî, al-Mâwardi adalah tokoh-tokoh besar yang sangat diakui di dunia Islam berabad-abad bahkan sampai hari ini, dan Kiyai Sahal, di samping pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama (NU) adalah juga ketua Umum MUI dua periode. Semua tokoh ini tidak bicara soal keyakinan orang. Mereka sangat paham bahwa keyakinan orang menjadi wilayah kekuasaan dan kehendak Tuhan saja. Manusia hanya bisa menilai tindakan-tindakan manusia. Dan fiqh (hukum) mengatur tindakan-tindakan orang dewasa (af’al al-mukallafin). Mereka sesungguhnya tengah bicara tentang realitas sosial-politik-ekonomi yang diamati dan direnungkannya. Mungkin taushiyah mereka menjadi penting untuk kita di sini saat ini.

Oleh : Husein Muhammad


Baca artikel menarik lainnya di http://www.almunawwarah-nu.blogspot.com

No comments

Powered by Blogger.