Skandal Ulama Panutan Wahabi, Syaikh Albani

albani


Dalam gambar scan di atas, ada perawi bernama Sa'id bin Zaid, saudara Hammad bin Zaid, al-Albani menilai haditsnya lemah (dha'if), ketika hadits yang diriwayatkan berkaitan dengan kebolehan bertawasul dan bertabaruk dengan makam Nabi saw. Hal ini seperti ia jelaskan dalam kitab al-Tawassul.





Akan tetapi, ketika hadits yang diriwayatkan oleh Sa'id bin Zaid tersebut tidak berkaitan dengan hukum tawasul dan tabarruk dengan makam Nabi saw, maka al-Albani menghukumi Sa'id bin Zaid sebagai perawi yang tidak dha'if, bahkan bernilai hasan dan jayyid, seperti ia tegaskan dalam kitab Irwa' al-Ghalil.







Ada yang tidak percaya, bahwa Syaikh al-Albani, ahli hadits
kaum Salafi-Wahabi seringkali kontradiksi dalam menilai suatu hadits, dalam
kitab A dishahihkan, dalam kitab B didha’ifkan dan dalam kitab C dimunkarkan
dan terkadang dimaudhu’kan. Berikut di antara contohnya.








Rasulullah SAW bersabda:





أبى الله أن يقبل عمل صاحب بدعة حتى يدع بدعته





Allah menolak untuk menerima amal seorang pengikut bid’ah,
sampai meninggalkan bid’ahnya.





Hadits di atas, menurut al-Albani bernilai:





1) Shahih lighairihi, dalam komentar/ta’liq al-Targhib wa
al-Tarhib juz 1, hal.86, terbitan Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, tahuan 1424 H.





2) Dha’if dalam, ta’liq kitab Ishlah al-Masajid, karya al-Qasimi
hal. 81, terbitan al-Maktab al-Islami, Beirut, tahun 1399 H.



































3) Munkar, dalam Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah, juz 3 hal.
684, terbitan Maktabah al-Ma’arif, Riyadh tahun 1988.



Siapakah Albani, Layakkah ia menyandang status sebagai Muhaddits ??




Al-Mukarram Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa pengasuh Majelis Rasulullah SAW Jakarta berkata mengenai Syeikh Al-Albani dalam Forum Tanya Jawab Majelis Rasulullah, bahwa:




“beliau (Albani) itu bukan Muhaddits, karena Muhaddits adalah orang yg mengumpulkan hadits dan menerima hadits dari para periwayat hadits, albani tidak hidup di masa itu, ia hanya menukil-nukil dari sisa buku-buku hadits yg ada masa kini. Kita bisa lihat Imam Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 hadits (1 juta hadits), berikut sanad dan hukum matannya, hingga digelari Huffadhudduniya (salah seorang yg paling banyak hafalan haditsnya di dunia), (rujuk Tadzkiratul Huffadh dan siyar a’lamun nubala) dan beliau tak sempat menulis semua hadits itu, beliau hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits saja, maka 980.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman.




Imam Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman, demikian para Muhaddits2 besar lainnya, seperti Imam Nasai, Imam Tirmidziy, Imam Abu Dawud, Imam Muslim, Imam Ibn Majah, Imam Syafii, Imam Malik dan ratusan Muhaddits lainnya,




Muhaddits adalah orang yg berjumpa langsung dengan perawi hadits, bukan jumpa dengan buku-buku, albani hanya jumpa dengan sisa-sisa buku hadits yg ada masa kini.




Albani bukan pula Hujjatul Islam, yaitu gelar bagi yg telah hafal 300.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya, bagaimana ia mau hafal 300.000 hadits, sedangkan masa kini jika semua buku hadits yg tercetak itu dikumpulkan maka hanya mencapai kurang dari 100.000 hadits.




Al Imam Nawawi itu adalah Hujjatul islam, demikian pula Imam Ghazali, Al Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad dan banyak Imam Imam Lainnya.




Albani bukan pula Alhafidh, ia tak hafal 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya seperti Almusnid Al Habib Umar bin Hafidh, karena ia banyak menusuk fatwa para Muhadditsin, menunjukkkan ketidak fahamannya akan hadits hadits tsb.


Yang demikian itu adalah menurut pengakuan Albani sendiri ketika terjadi dialog dengan seorang penanya, Bahwa dia (albani) belajar Hadits hanya dari membaca buku-buku, tanpa berguru pada seorang ahli hadits, dia tidak mempunyai sanad yang diakui dalam ilmu hadits. Sanadnya terputus, tidak ada yang sampai pada Rasulallah. Sanad hadist-hadits riwayat Albani hanya kembali pada buku-buku yang dia baca sendiri TANPA bimbingan seorang Syaikh muhaddits. Bahkan, dia pun mengaku bahwa sesungguhnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai pada Rasulullah.

Perkara ini dibuktikan saat salah seorang pengacara (muhami) yang mengikuti majlis ilmunya bertanya padanya: “engkau seorang muhadits?”





“Ya”  jawab al-Albani



“Bisakah engkau meriwayatkan kepadaku 10 hadits yang sanadnya sambung-menyambung kepada Rasulallah?”

Albani menjawab:







أنا لست محدث حفظ بل محدث الكتاب





“aku bukan lah muhadits yang menghafal hadits, tapi aku hanyalah muhaddits kitab.”



Sang Penanya pun mengomentari, ”kalau begitu saya pun bisa menjadi muhaddits kitab (buku)?!” Albani terdiam seketika mendengar jawaban sang penanya.




Meskipun begitu, uniknya dia berani mentashih (menghukumi suatu hadits sebagai shahih) dan mentadh’ifkan (menghukumi suatu hadits sebagai dha’if) dengan kemampuannya yang demikian itu.




Oleh karena itu, Albani sering salah dalam meneliti status hadits bahkan sampai ribuan kesalahan, karena ilmunya bertentangan dengan kaidah-kaidah para ulama hadits. Sesungguhnya, mentashih dan mentad’ifkan suatu hadits tugas para Hafidh (Huffadh) saja, yang benar-benar mengerti ilmu hadits. Jadi, mentashih dan mentad’ifkan hadits itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.  (Lihat: Ulama sejagad Menggugat Salafi Wahabi).

No comments

Powered by Blogger.