Masalah Takfir dan Tawassul, Jawaban Abu Mudi Samalanga

Abu Mudi para ulama ahlus sunnah sangat berhati2 dalam hal mengkafirkan kelompok lain, bahkan para ulama tidak mengkafirkan kaum mu`tazilah yang menafikan sifat pada Allah. Mengkafirkan kaum muslim yang jelas masih muslim maka akan berakibat ia sendiri menjadi murtad.

Beberapa hal yang menjadikan seseorang murtad pernah di post oleh lbm mudi, 
http://lbm.mudimesra.com/2012/06/beberapa-hal-yang-mengkafirkan.html

Emhade Redhza: apakah tgk2 dayah termasuk ahlus sunnah? karena pada kenyataannya banyak tgk2 dayah yang mengkafirkan wahabi,


Abu Mudi harus dilihat dulu kasus nya, kaum wahaby sanngat suka memvonis syirik terhadap amalan kaum muslim lainnya. Mereka memvonis syirik umat islam yang berziarah, bertawasol, bertabarok. Menganggap saudara muslim syirik dan kafir dapat berakibat dia sendiri yang murtad dan keluar dari Islam.

Emhade Redhza: kalau kita juga menganggap kaum wahabi sesat bukankah kita tidak berbeda juga dengan mereka?

Abu Mudi tentu saja tidak, golongan yang sesat tentu saja harus diterangkan kepada masyarakat luas bahwa mereka sesat demi mengantisipati supaya kesesatan mereka tidak menyebar, apalagi kaum wahaby yang didukung oleh dana yang besar dari pemerintah Arab Saudi, kalau ulama tinggal diam maka masyarakat akan sangat mudah terpengaruh.

Emhade Redhza: apakah orang yang tidak tahlilan, tidak azan dikuburan, tidak merayakan maulid termasuk wahabi?



Abu Mudi kenali saja mana yang i`tikad kaum wahaby, Insya Allah akan diketahui siapa saja yang termasuk kaum wahaby, dan ini berkaitan dengan masalah keyakinan bukan pada mau melaksanakn atau bukan.

Masalah azan dikuburan tidak ada hubungan sama sekali dengan wahaby atau bukan, lebih rincinya bisa di baca di lbm mudi: 

http://lbm.mudimesra.com/2012/07/azan-ketika-mengubur-mayat.html

Emhade Redhza: kenyataannya sekarang ini banyak tgk2 dayah yang menganggap orang "Muhammadiah" sesat/kafir padahal orang "Muhammadiah" juga berpegang kepada Al-Qur'an dan Hadits2 Shahih dan kitab2 Imam Syafii dan imam An Nawawi. bukankah dengan sendirinya mereka juga menghujat Imam Syafii dan Imam Nawawi?


Abu Mudi Muhammadiyah adalah sebuah organisasi berbasis agama, dalam beberapa masalah mereka agak sedikit condong kepada pemikiran wahaby. banyak saat ini orang-orang mendakwa mengikut al-quran dan sunnah padahal hanya menafsirkan ayat dan al-Hadist menurut ilmu mereka yang rendah dan akal mereka. Para ulama mengatakan salah satu sumber kekufuran(kesesatan) adalah mengambil dhahir nash saja. inilah yang banyak terjadi pada mereka mendakwakan dirinya kembali kepada quran dan hadits.


Emhade Redhza: secara tidak langsung mereka juga sesat? mereka juga berpegang pada hadist2 shahih, kitab2 imam syafii dan murid2nya. kalaupun wahabi sesat kenapa Haramain bisa dikuasai oleh mereka?


bagaimana dengan orang2 yang melaksanakan ibadah haji apakah mereka akan sesat juga karena ikut wahabi?

kalau emang wahabi yang ada di Haramain tu sesat kenapa tgk2, abon2, waled2 dan abu2 tidak mengusir saja mereka dari Tanah Arab agar Islam tidak terkontaminasi oleh faham Wahabi?



Abu Mudi kaum wahaby hanya mengakui berpegang kepada hadist, sedangkan dengan kitab-kitab Imam Syafii mereka dengan terang menolaknya, Imam Syafii berpendapat sunat berziarah kubur namun bereka menganggapnya syirik.

orang2 yang melaksanakan ibadah haji belum tentu mengikuti kaum wahaby, mereka bisa melaksanakan ibadah haji tanpa mengikuti akidah kaum wahabi.

kaum wahaby mampu menguasi Haramain, hal tersebut tidak sama sekali menunjuki mereka sesat atau tidak, mereka mengusai Haramain setelah memberontak kepada Khalifah Islam Turkyei Utsmani dan dengan bantuan kafir Inggris.



Umat muslim bukan tidak mau mengusir mereka dari Haramain namun saat ini tidak ada kekuatan kaum muslim sunni yang mampu mengusir mereka.


Emhade Redhza: bukankah abu2, waled2, abon2 serta abati2 punya karamah? kenapa mereka gk terjun ke Haramain untuk membasmi wahabi.


Abu Mudi karamah adalah pemberian Allah terhadap siapa yang Allah kehendakai dan kapan Allah kehendaki bukan dan tidak dapat terjadi atas kehendak sendiri, para Aulia sendiri lebih merasa malu bila Allah memperlihatkan karamah mereka. Bahkan ada Aulia yang meminta mati setelah karamahnya terbongkar kpada umum.


Andri Sanova (Penanya) :

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Afwan. Mau bertanya sedikit.

Abu Mudi post :

harus dilihat dulu kasus nya, kaum wahaby sanngat suka memvonis syirik terhadap amalan kaum muslim lainnya. Mereka memvonis syirik umat islam yang berziarah, bertawasol, bertabarok. Menganggap saudara muslim syirik dan kafir dapat berakibat dia sendiri yang murtad dan keluar dari Islam.

-----------------------------

Setau saya tidak ada yang memvonis syirik kepada umat Islam yang berziarah kubur, karena ziarah kubur pun ada anjurannya dari Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam asalkan sesuai tuntunan yaitu ittiba'(ikut Rasul).

Yang jadi permasalahannya adalah bertawassul kepada orang yang sudah meninggal di dalam kuburan tsb karena dianggap keramat.

Tawassul adalah ibadah yang syar'i asalkan dikerjakan sesuai perintah, karena ibadah dalam pelaksanaannya adalah at-tauqif(tunggu perintah) yaitu dari ALLAH dan Rasul-Nya.

Yang ingin saya tanyakan apakah ada dalil yang membolehkan tawassul kepada orang yang sudah meninggal??

Kalau ada, tolong Abu post mungkin saya alpa atau juga belum pernah membacanya dan mempelajarinya.

Dan, memvonis syirik atau kafir secara umum seperti karena perbuatannya tsb yang dilakukan berbeda dengan memvonis syirik atau kafir kepada masing-masing individu.

Jadi, kalau soal memvonis syirik secara umum atas perbuatan karena berdasarkan dalil yang ada dalam Al-Qur'an, seperti :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan janganlah kamu menyeru (memohon) kepada sembahan-sembahan selain Allah yang tidak mampu memberikan manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” (QS. Yuunus: 106).

Sedangkan, memvonis suatu kelompok sesat atau kafir itu sama dengan memvonis masing-masing atau tiap-tiap individu dalam kelompok tersebut adalah kafir.

Jadi, kalau menganggap kaum wahabi sesat juga, bukankah termasuk dari mengkafirkan juga seperti mereka?
Wallahua'lam bish shawab.



Abu Mudi wa`alaikum salam

Sebagian kalangan wahaby salafi menolak legalitas tawasol secara mutlak, namun sebagian yang lain hanya menolak tawasol dengan orang yang telah meninggal. Sedangkan ulama Ahlus sunnah membolehkan tawasol kepada orang shalih secara mutlak, baik mereka masih hidup maupun yang telah meninggal.

Tawasol bukan berarti menyekutukan Allah, karena makna menyekutukan Allah adalah meyakini adanya zat lain yang memiliki kekuatan memberi bekas pada sesutu seperti halnya Allah. Sedangkan dalam tawasol, orang yang bertawasol tidak meyakini demikian, orang shalih hanya sebagai perantara dengan tetap berkeyakinan bahwa mereka tidak mampu member bekas apapun, dan tidak memiliki kemampuan seperti Allah. Hal inilah yang membedakan tawasol umat muslim dengan apa yang dilakukan kaum kafir, dimana mereka menjadikan patung2 sebagai perantara mendekatkan diri kepada Allah dengan tetap berkeyakinan bahwa patung tersebut mampu memberi bekas sebagaimana Allah.

Dalil tawasol kepada orang shalih yang telah meninggal antara lain;

1. Nabi Muhammad pernah bertawasol dengan para Nabi yang telah terdahulu. Yaitu ketika Fathimah bin Asad, ibu Sayyidina Ali meninggal. Rasulullah memberikan pakaian beliau untuk dijadikan kafan, kemudian memerintahkan kepada Usamah, Abu Ayyub, Umar bin Khatab dan seorang pemuda kulit hitam untuk menggali kubur, kemudian ketika mereka hendak menggali liang lahat, Nabi memerintahkan mereka berhenti kemudian beliau menggali sendiri liang lahat dengan tangan beliau sendiri. Setelah selesai beliau membaca:


الله الذي يحيي ويميت وهو حي لايموت أغفر لأمي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسع عليها مدخلها بحق نبيك والأنبياء الذين من قبلي فإنك أرحم الراحمين

“Allah yang maha menghidupkan dan mematikan, Dia hidup dan tiada mati, ampunkanlah bagi ibuku, Fathimah bin Asad, dan bimbinglah ia untuk mengucaplkan hujjahnya dan luaskan kuburnya DENGAN HAK (KEMULIAN) NABI ENGKAU DAN SEGALA NABI SEBELUMKU, sesungguhnya engkau maha pengasih dari yang mengasihani”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu`jam Kabir dengan no. 871, Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadits ini adalah shahih.

disini Nabi bertawasol kepada para Nabi yang telah dahulu, INI ADALAH TAWASOL KEPADA ORANG YANG TELAH MENINGGAL.

2. Para shahabat juga bertawasol kepada Rasulullah setelah beliau wafat, misalnya kisah yang disebutkan oleh Imam ath-Thabrany: bahwa pada masa khalifah Sayyidina Usman, seorang laki-laki yang sering mengunjungi Sayyidina Usman, pada suatu hari mengunjungi beliau karena ada suatu hajat, namun Sayyidina Usman tidak sempat memperhatikannya. Kemudian ia bertemu shahabat Nabi, Usman bin Hanif, ia menceritakan hal tersebut kepada beliau. Usman bin Hanif kemudian memerintahkannya untuk berwudhuk dan shalat dua rakaat di masjid dan membaca doa dibawah ini selanjutnya kembali mendatangi khalifah.

اللهم انى اسألك واتوجه اليك بنبينا محمد صلى الله عليه وسلم نبى الرحمة يا محمد انى اتوجه بك الى ربك ربي جل وعز فيقضى لى جاحتى

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dengan bertawajuh kepadaMu dengan NabiMu, Nabi kami Muhammad SAW, Nabi Rahmat, Ya Nabi Muhammad, sesungguhnya aku bertawajuh dengan engkau kepada tuhan engkau yang maha agung dan mulia agar Dia mewujudkan hajatku.”

Kemudian ia segera datang menghadap khalifah, dan khalifah segera memenuhi hajatnya.
INI JUGA TAWASOL KEPADA ORANG YANG TELAH MENINGGAL.

3. Bagi Allah tidak ada beda antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup, sama-sama lemah dan tak mampu memberi bekas apapun, sehingga mengapa harus dibedakan antara tawasol dengan orang yang masih hidup dengan orang yang telah meninggal?

sesat belum tentu kafir, namun setiap kafir sudah pasti sesat, mengatakan bahwa wahaby sesat bukanlah mengatakan mereka kafir.


Andri Sanova: Syukran balasannya Abu Mudi.

Benar seperti Abu Mudi katakan bertawassul kepada orang shalih yang masih hidup memang disyari'atkan karena juga ada hadits orang yang bertawassul kepada Rasul ketika beliau masih hidup yaitu meminta wasilah(perantara) supaya yang mendo'akan Rasulullah langsung sehingga insyaa ALLAAH pasti dikabulkan.

Nah, kalau bertawassul kepada orang yang sudah meninggal, apakah itu tidak keliru?

Orang yang sudah meninggal mana bisa mendengar apalagi menolong mendo'akan untuk kita manusia yang masih hidup, beda sama tawassul kpd orang shalih yang masih hidup pasti bisa langsung menjadi wasilah(perantara) didoakan untuk kita.

Dan orang yang sudah meninggal juga berbeda alam sama kita, mereka sudah di alam barzakh bagaimana bisa mendengar permohonan tawassul kita kepada mereka?



Afwan, mungkin itu pertanyaan berdasarkan logika.

Kalau soal hadits-hadits di atas :

1. Hadits tersebut bunyinya sebagai berikut:

اللهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ اِغْفِرْ لأُِمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ

Terjemahannya (versi Abu Mudi):“Allah yang maha menghidupkan dan mematikan, Dia hidup dan tiada mati, ampunkanlah bagi ibuku, Fathimah bin Asad, dan bimbinglah ia untuk mengucaplkan hujjahnya dan luaskan kuburnya DENGAN HAK (KEMULIAN) NABI ENGKAU DAN SEGALA NABI SEBELUMKU, sesungguhnya engkau maha pengasih dari yang mengasihani”.

Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan jenazah beliau dan memakamkannya dibantu oleh ‘Abbas dan Abu Bakar Ash Shiddiq (HR. Thabrani).

Kemudian Abu Mudi menukil bahwa Ibnu Hibban men-shahihkannya.

Lalu berkata: "disini Nabi bertawasol kepada para Nabi yang telah dahulu, INI ADALAH TAWASOL KEPADA ORANG YANG TELAH MENINGGAL."

Sebetulnya ada beberapa kesalahan di sini, pertama: hukum hadits di atas tidak shahih dan disebutkan di situ bahwa dalam hadits ini ada perawi yang namanya Rauh bin Shalah. Dia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, dan ia memiliki kelemahan, demikian menurut Al Haitsami [Lihat: catatan kaki Al Mu’jamul Kabir, Sulaiman bin Ayyub Ath-Thabrani, Juz 24 hal 351].

Kedua, kalau pun hadits di atas kita anggap hasan atau shahih, toh ia sama sekali tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan para Nabi. Sebab dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “dengan hak Nabi-Mu… dst”, namun disisipi kata (kemuliaan); padahal kata-kata ini sama sekali tidak ada dalam hadits dan tidak disinggung sedikitpun. Intinya, ini adalah penyelewengan makna hadits yang disengaja.

Kemudian, kalau kita perhatikan terjemahan yang berhuruf kapital(besar) di atas, sebenarnya tidak ada masalah kalau kita memahaminya dengan benar. Sebab yang dimaksud hak Nabi Muhammad dan Nabi-Nabi sebelum beliau adalah untuk ditaati atas seizin Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ [النساء/64]

“Dan Kami tidaklah mengutus seorang Rasul pun melainkan agar ia ditaati dengan seizin Allah…(alias ittiba’) “ (An Nisa’: 64).

Jadi, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertawassul dengan hak beliau dan hak para Nabi sebelumnya, sebenarnya beliau tidak bertawassul dengan dzat mereka yang sudah mati; akan tetapi bertawassul dengan salah satu amal shalih, yaitu menaati para Nabi dengan seizin Allah. Dengan demikian, hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil yang membolehkan orang hidup untuk tawassul dengan yang sudah mati.
Wallahu a'lam bish shawab.


Andri Sanova: 2. Tentang hadits kedua:

Ini hadits yang shahihnya :

Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif berkata, “Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebutaannya tersebut. Tetapi, lelaki itu bersikeras minta didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik kemudian membaca doa berikut:



اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِي، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ.



Terjemahannya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah ber-tawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at beliau untukku“. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).

Hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita cara bertawassul beliau ketika masih hidup. (jadi tawassul yang syar'i)

Sedangkan soal hadits 1 lagi yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraniy saya sudah baca di situs Syi'ah mengatakan hadits itu shahih, sedangkan di situs yang Anda katakan salafi wahaby hadits itu dikatakan dha'if dan ditakhrij oleh Syaikh al-Albani.

Cuma saya takut saja percaya sama situs-situs Syi'ah karena mereka sangat lihai dalam berdusta apalagi menyebarkan fitnah.


Abu Mudi alhamdulillah, syukran atas balasannya sehingga kami dapat mengetahui dimana letak sumber kesalahan pemahaman saudara.

kesalahan suadara yang pertama adalah dalam memahami makna tawasol, dari kalimat saudara "juga ada hadits orang yang bertawassul kepada Rasul ketika beliau masih hidup yaitu meminta wasilah(perantara) supaya yang mendo'akan Rasulullah langsung sehingga insyaa ALLAAH pasti dikabulkan."

tampaknya saudara memaknai tawasol dengan meminta supaya didoakan oleh orang yang kita minta tasawol, sehingga saudara membedakan antara orang mati dan orang hidup dalam hal dibolehkan tawasol. Ini adalah pemahaman yang keliru.

dalam hadist yang menceritakan bahwa salah seorang shahabat Nabi yang buta datang kepada Nabi meminta supaya didoakan agar sembuh dari buta, namun Nabi menawarkan kepadanya untuk bersabar atau didoakan oleh Nabi, shahabat tersebut lebih memilih untuk didoakan, maka Nabi menyuruhnya untuk berwudhuk dan meyuruhnya untuk membaca doa:

اللَّهمَّ إِني أسألُك وأتَوَجه إِليك بِنَبِيِّكَ محمدٍ : نبي الرحمة إني توَّجهتُ بك إلى ربِّي في حاجتي هذه لتُقْضى لي ، اللَّهم فَشَفِّعْهُ فيَّ


Ya Allah saya meminta kepadamu dan saya menghadap kepadaMu dengan NabiMu, Nabi Muhammad, Nabi Rahmat, saya menghadap dengan mu kepada tuhan ku pada hajatku ini supaya ditunaikan hajatku, Ya Allah terimalah syafaatnya bagiku.

dalam hadist ini sangat terang bahwa lafadh :

اللَّهمَّ إِني أسألُك وأتَوَجه إِليك بِنَبِيِّكَ محمد

Ya Allah saya meminta kepadamu dan saya menghadap kepadaMu dengan NabiMu, Nabi Muhammad.

Juga diucapkan oleh Shahabat tersebut.

Hal ini menunjuki bahwa makna tawasol bukanlah meminta supaya didoakan karena bila memang demikian tentu saja shahabat tersebut tidak akan mengucapkannya. Dalam hadist tersebut Nabi mengajarkan shahabat tersebut untuk berdoa dengan bertawasol.

jadi kalau memaknai tawasol dengan meminta supaya didoakan maka ini adalah pemahaman yang sangat keliru.

Kemudian saudara membedakan antara orang hidup dengan orang meninggal karena orang yang sudah mati tidak dapat lagi mendengar. Sebenarnya orang yang telah meninggal juga bisa mendengar dengan diperdengarkan oleh Allah tetapi mereka tidak bisa menjawabnya saja, lagi pula pada tawasol pada hakikatnya adalah meminta kepada Allah, sehingga tidak ada pengaruh sama sekali tempat kita bertawasol apakah ia mampu mendengar atau tidak, karena yang menyampaikan hajat orang yang bertawasol adalah Allah sendiri.

kemudian masalah tanggapan saudara bahwa hadist tersebut tidak shahih karena ada perawi yang bernama Rauh bin Shalah yang dikatakan oleh al-Haitsami memiliki kelemahan, perlu saudara ketahui kadang-kadang keadaan seorang perawi terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama seperti halnya perawi Rauh bin Shalah. al-Hakim, Ibnu Hibban menganggap beliau tsiqah dan terpercaya, al-Haistami mengatakan bahwa beliau memiliki kelemahan, namun beliau tidak menyebutkan sebab kelemahannya, maka ketika demikian lebih diterima pernyataan pihak yang mengatakan bahwa beliau tsiqah dan terpercaya ketimbang pihak yang mengatakan bahwa beliau memiliki kelemahan namun tidak menyebutkan sebab kelemahannya.

maka mengatakan bahwa hadist ini kuat bukanlah mengikuti perkataan kaum syiah seperti yang saudara baca di situs mereka.

Selanjutnya, Al-Bani menganggap hadist ini lemah. ketauilah, al-Abani merupakan tokoh yang cukup banyak para ulama menolak pandangan dan pendapatnya tentang ilmu hadits, ia sangat ceroboh dalam mengambil kesimpulan untuk mendhaifkan satu hadist, banyak para ulama yang telah mengarang kitab untuk menolak pendapat al-Bani. kemudian mengapa saudara mempercayai pendapat al-Bani dan meninggalkan pendapat al-Hakim dan Ibnu Hibban??

selanjutnya, kata saudara:
------------------------------------
(("Kedua, kalau pun hadits di atas kita anggap hasan atau shahih, toh ia sama sekali tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan para Nabi. Sebab dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “dengan hak Nabi-Mu… dst”, namun disisipi kata (kemuliaan); padahal kata-kata ini sama sekali tidak ada dalam hadits dan tidak disinggung sedikitpun. Intinya, ini adalah penyelewengan makna hadits yang disengaja.
Kemudian, kalau kita perhatikan terjemahan yang berhuruf kapital(besar) di atas, sebenarnya tidak ada masalah kalau kita memahaminya dengan benar. Sebab yang dimaksud hak Nabi Muhammad dan Nabi-Nabi sebelum beliau adalah untuk ditaati atas seizin Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ [النساء/64]

“Dan Kami tidaklah mengutus seorang Rasul pun melainkan agar ia ditaati dengan seizin Allah…(alias ittiba’) “ (An Nisa’: 64).

Jadi, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertawassul dengan hak beliau dan hak para Nabi sebelumnya, sebenarnya beliau tidak bertawassul dengan dzat mereka yang sudah mati; akan tetapi bertawassul dengan salah satu amal shalih, yaitu menaati para Nabi dengan seizin Allah. Dengan demikian, hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil yang membolehkan orang hidup untuk tawassul dengan yang sudah mati"))
-----------------------------------
Jawaban kami:
Hak Nabi itulah kemulian yang Allah berikan kepada mereka, jadi kata tersebut disisipi supaya bisa dipahami apa maksud hak nabi, dan hal ini bukanlah penyelewengan makna hadits.

kalau saudara memaknai bahwa Hak Nabi tersebut "adalah untuk dita`ati atas seizin Allah", maka disini saudara juga telah melakukan penambahan atas makna hadist, karena kata tersebut juga tidak terdapat dalam hadits tersebut. dan bagaimana saudara akan memaknai kata Nabi,

وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي

dan luaskanlah kuburnya dengan hak (mungkin disini saudara akan menyisipkan kata "untuk ditaati atas seizin Allah") NabiMu dan Nabi-Nabi sebelumku.

Saran kami kepada saudara, belajarlah ilmu agama kepada guru, jangan hanya berguru kepada internet, sehingga tidak akan mampu menemukan mana yang benar dan mana yang salah.

Wallahu al-Muwaffiq.


Andri Sanova: Afwan, Abu Mudi.

Alhamdulillaah sudah saya dapat sedikit poinnya, kalau ber-tawassul hanya sebagai wasilah(perantara) tujuannya untuk menyampaikan sesuatu hajat kepada ALLAH, makanya ada ber-tawassul dengan kemuliaan orang shalih atau wali yang sudah meninggal.
---------------------------------------------------


Mengenai Abu Mudi post :

tampaknya saudara memaknai tawasol dengan meminta supaya didoakan oleh orang yang kita minta tasawol, sehingga saudara membedakan antara orang mati dan orang hidup dalam hal dibolehkan tawasol. Ini adalah pemahaman yang keliru. dalam hadist yang menceritakan bahwa salah seorang shahabat Nabi yang buta datang kepada Nabi meminta supaya didoakan agar sembuh dari buta, namun Nabi menawarkan kepadanya untuk bersabar atau didoakan oleh Nabi, shahabat tersebut lebih memilih untuk didoakan, maka Nabi menyuruhnya untuk berwudhuk dan meyuruhnya untuk membaca doa:


اللَّهمَّ إِني أسألُك وأتَوَجه إِليك بِنَبِيِّكَ محمدٍ : نبي الرحمة إني توَّجهتُ بك إلى ربِّي في حاجتي هذه لتُقْضى لي ، اللَّهم فَشَفِّعْهُ فيَّ


Ya Allah saya meminta kepadamu dan saya menghadap kepadaMu dengan NabiMu, Nabi Muhammad, Nabi Rahmat, saya menghadap dengan mu kepada tuhan ku pada hajatku ini supaya ditunaikan hajatku, Ya Allah terimalah syafaatnya bagiku.
-----------------------------------------------------------
Jelas bahwa yang dimintai doa adalah orang yang masih hidup dan hadir, yaitu Rasulullah. Kalaulah kehadiran orang tersebut bukanlah syarat, pastilah si tunanetra tidak perlu capek-capek menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertawassul, jadi tawassul disyaratkan kepada orang yang masih hidup dan hadir.

Terima kasih saran Abu Mudi juga tentang berguru itu, makanya sekarang saya yang kurang ilmu ini ingin bertanya kepada Abu Mudi ya mungkin walaupun tidak beguru langsung bisa terjadi transfer ilmu walaupun hakikatnya hanya sedikit dan internet hanya sebagai perantara.

Bukankah ilmu bermanfaat bisa menjadi pahala yang tak terputus hingga kita meninggal kelak?

Makanya tujuan saya di sini meminta sharing ilmu dari Abu Mudi.
Soal berguru langsung memang bisa langsung nampak mana benar dan mana yang salah.
Kita beguru kepada guru salafy wahabi, pasti mereka merasa benar.
Kita beguru kepada guru aswaja, pasti mereka juga merasa benar.
Kita berguru kepada guru syi'ah sekali pun, pasti mereka merasa benar(menurut pandangan masing2).

Jadi, benar itu menjadi relatif menurut di tempat mana kita belajar dan berguru.

Makanya, saya ada berguru juga sama guru salafy wahabi dan ada juga Alhamdulillaah berguru sama guru aswaja seperti salah satu murid Abu Mudi sendiri.
Tujuan saya tidak lain mencari kebenaran, di antara keduanya misalnya mana yang lebih sesuai Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman as-salafush shalih, termasuk 4 imam mazhab.

Baiklah, berlepas dari hadits yang menjadi pertentangan antara shahih dan dha'if, maka kembali ke hadits shahih :

Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu meminta hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan ‘Abbas bin Abdul Muththalib. Sayyidina ‘Umar berkata dalam doanya:

اَللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيَنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-mu kami bertawassul dengan Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bedoa kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” (HR. Bukhari). Tidak lama setelah itu, Allah menurunkan hujan kepada mereka semua.

Makna hadits di atas ialah bahwa 'Umar dan para sahabat ketika mengalami paceklik di zaman Nabi, mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta agar beliau mendo'akan supaya turun hujan. Lalu sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar dan para sahabat beralih mendatangi ‘Abbas dan minta doa darinya.

Ketika paceklik melanda, kiranya apakah para sahabat duduk di rumah mereka masing-masing kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan Nabi-Mu Muhammad dan segala kehormatannya di sisi-Mu, berilah kami hujan…”, atau mereka mendatangi diri Rasulullah, lalu minta doa dari beliau agar Allah menurunkan hujan? Kemudian setelah beliau wafat, Umar dan para sahabat tidak lagi minta atau mendatangi kuburan Rasulullah untuk minta doa. Mengapa? Karena mereka lebih paham terhadap makna tawassul. Mereka tahu bahwa Rasulullah yang dahulu merupakan manusia paling manjur doanya saat beliau hidup, kini sudah wafat dan tidak bisa lagi memberi manfaat apa pun kepada mereka. Kalaulah para sahabat memahami makna tawassul seperti yang dipahami tsb, lantas mengapa mereka tidak mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta doa dari beliau? Bukankah beliau jauh lebih afdhal dari pada ‘Abbas?

Kesimpulan:

1. Di dalam hadits shahih tsb jelas 'Umar bertawassul kepada Rasulullah ketika beliau masih hidup, tetapi ketika beliau sudah wafat maka 'Umar beralih bertawassul kepada 'Abbas paman Rasul.

Kalau memang boleh bertawassul kepada orang yang sudah meninggal, pastinya Umar akan mendatangi makam Rasulullah untuk bertawassul seperti sebelumnya ketika beliau Rasulullah masih hidup, karena pasti bertawassul kepada Rasulullah jauh lebih afdhal.

2. Jelas, bahwa cara tawassul yang dipraktikkan Umar dan para sahabatnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun kepada 'Abbas ialah dengan tidak sekedar menyebut nama mereka dalam berdoa. Sebaliknya, demikian banyak dalil-dalil yang menjelaskan bahwa tawassul yang mereka lakukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun 'Abbas ialah dengan mendatangi keduanya, lalu meminta keduanya untuk berdoa kepada Allah. Di antara dalilnya ialah kisah seorang tunanetra yang telah disinggung di atas.

Selain hadits shahih kalau bisa tolong Abu Mudi post juga perkataan Imam Syafi'i rahimahullah dan 'ulama Asy-Syafi'i rahimahullah seperti Imam An-Nawawi ataupun Ibnu Hajar al-'Asqalani misalnya yang membolehkan tawassul kepada orang yang meninggal.
Mungkin ada dan belum sampai ilmunya kepada saya.

Syukran atas balasan dan sarannya.
Jazakumullah khairan katsiran.



Abu Mudi Memang dalam hadist shahabat yang tuna netra tersebut ia bertawasol dengan Nabi ketika Nabi hadir, namun dalam tinjuan ilmu ushul fidh kehadiran tersebut bukanlah satu wasaf yang mu`tabar bagi hukum. Masalah shahabat tersebut datang kepada Rasulullah tak lain karena shahabat tersebut ingin menanyakan solusi atas musibahnya kemudian Rasulullah mengajarkan cara tawasol kepada Rasulullah.

Bukti bahwa kehadiran bukanlah syarat dalam bertawasol antara lain, hadist shahabat yang datang kepada khalifah usman bn Affan diatas, hadist tersebut tentu saja tidak dapat diabaikan begitu saja, selain itu juga ada hadist yg menceritakan bahwa pada Zaman Khalifah Umar bin Khatab, Shahabat Nabi Bilal bin Rabah juga pernah ke maqam Rasulullah sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari:


وروى ابن أبي شيبة بإسناد صحيح من رواية أبي صالح السمان عن مالك الداري - وكان خازن عمر - قال: "أصاب الناس قحط في زمن عمر فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا، فأتى الرجل في المنام فقيل له: ائت عمر " الحديث.

وقد روى سيف في الفتوح أن الذي رأى المنام المذكور هو بلال بن الحارث المزني أحد الصحابة، وظهر بهذا كله مناسبة الترجمة لأصل هذه القصة أيضا والله الموفق

Kaum yang menolak tawasol kepada orang telah wafat, menolak hadits ini dengan alasan walaupun shahih tetapi karena menentang dengan perbuatan shahabat utama (Umar bin Khatab) maka hadits ini ditinggalkan. (seperti ditulis oleh salah satu dari mereka yang menta`liq kitab Imam Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Bari, bertepatan dengan hadits ini).


Ini pemahaman yang keliru, antara perbuatan umar dengan Bilal tersebut tidak menentang sama sekali tetapi hanya dipertentangkan oleh orang2 yang telah membenci tawasol kpd orang yang telah wafat. Mana mungkin shahabat Bilal yang telah masuk islam semenjak awal kemunculan islam tetapi beliau tidak mengetahui bahwa tawasol terhadap orang yang telah meninggal dilarang bahkan bisa menyebabkan syirik sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kalangan saat ini.

masalah Saidina Umar bertawasol kepada Abbas tidaklah sama sekali menunjuki bahwa harus bertawasol kepada orang yang masih hidup. Tetapi hanya menunjuki boleh bertawasol boleh kepada siapa saja, boleh kepada Nabi dan boleh juga kepada orang lain.

Kalau yang menjadi pertanyaan :

Bila tawasol kepada Nabi setelah wafat boleh tentu saja Saidina Umar akan bertawasol kpd Nabi bukannya kepada Saidina Abbas karena tawasol kepada Nabi lebih afdhal?

Maka kami Tanya:

adakah dalil yang menerangkan tawasol itu harus dan mesti kepada yang paling afdhal? kalau memang benar demikian tentu saja Saidina Umar tidak akan bertawasol kepada Saidina Abbas tetapi tentu saja beliau akan bertawasol kepada Saidina Usman atau Saidina Ali, karena para ulama sepakat bahwa shahabat yang paling afdhal setelah Nabi adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali Radhiyallhu `Anhum.

Selanjutnya kalau memang disyaratkan harus bertawasol kepada yang paling afdhal maka tawasol hanya dibolehkan kepada Nabi Muhammad SAW saja sedangkan tawasol kepada orang yang lain tidak boleh sama sekali. Sedangkan pendapat ulama ahlus sunnah boleh bertawasol kepada semua orang shalih.
Tawasol Imam Syafii dengan Abu Hanifah, disebutkan dalam Kitab Tarikh al-Bagdad Imam Syafii pernah berkata:

اني لأتبرك بأبي حنيفة وأجيء إلى قبره في كل يوم يعني زائرا فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده فما تبعد عني حتى تقضى

Sekian.

No comments

Powered by Blogger.