Inilah Beberapa Contoh Ghibah yang dibolehkan Agama









img: republika.co.id



Asal
hukum ghibah adalah haram berdasarkan dalil-dalil yang tegas melarangnya, namun
demikian Imam Nawawi dan Ulama-ulama lain menuturkan kondisi-kondisi yang
memperbolehkan seseorang menggunjing karena bertujuan yang dilegalkan syara’
yang tidak mungkin dapat dilakukan perbaikan kecuali tanpa melakukakan Ghibah,
kondisi tersebut adalah:





الأَصْل فِي الْغِيبَةِ التَّحْرِيمُ لِلأَدِلَّةِ الثَّابِتَةِ فِي ذَلِكَ
، وَمَعَ هَذَا فَقَدْ ذَكَرَ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ مِنَ الْعُلَمَاءِ أُمُورًا
سِتَّةً تُبَاحُ فِيهَا الْغِيبَةُ لِمَا فِيهَا مِنْ الْمَصْلَحَةِ ؛ وَلأَنَّ الْمُجَوِّزَ
فِي ذَلِكَ غَرَضٌ شَرْعِيٌّ لاَ يُمْكِنُ الْوُصُول إِلَيْهِ إِلاَّ بِهَا وَتِلْكَ
الأُمُورُ هِيَ
:





الأَوَّل: التَّظَلُّمُ. يَجُوزُ لِلْمَظْلُومِ أَنْ يَتَظَلَّمَ إِلَى
السُّلْطَانِ وَالْقَاضِي وَغَيْرِهِمَا مِمَّنْ لَهُ وِلاَيَةٌ أَوْ لَهُ قُدْرَةٌ
عَلَى إِنْصَافِهِ مِنْ ظَالِمِهِ، فَيَذْكُرُ أَنَّ فُلاَنًا ظَلَمَنِي وَفَعَل بِي
كَذَا وَأَخَذَ لِي كَذَا وَنَحْوُ ذَلِكَ
.





Teraniaya





Diperbolehkan
bagi orang yang teraniaya mengadukan penganiayanya pada penguasa, hakim, dan
orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk menghentikan penganiayaannya dengan
menyebut langsung nama pelakunya, misalnya “Si Anu telah melakukan tindakan ini
padaku” atau “Si Anu mengambil seseuatu dariku” dan sebagainya.





الثَّانِي: الاِسْتِعَانَةُ عَلَى تَغْيِيرِ الْمُنْكَرِ وَرَدِّ الْعَاصِي
إِلَى الصَّوَابِ. وَبَيَانُهُ أَنْ يَقُول لِمَنْ يَرْجُو قُدْرَتَهُ عَلَى إِزَالَةِ
الْمُنْكَرِ: فُلاَنٌ يَعْمَل كَذَا فَازْجُرْهُ عَنْهُ وَنَحْوُ ذَلِكَ، وَيَكُونُ
مَقْصُودُهُ إِزَالَةَ الْمُنْكَرِ، فَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ ذَلِكَ كَانَ حَرَامًا





Merubah
Kemungkaran Dan Kemaksiatan Pada Kebenaran





Dengan
menyebut nama pembuat kemaunkaran serta kemaksiatan pada seseorang yang di
harapkan mampu merubahnya dengan berkata “Si Anu telah melakukan tindakan ini,
maka cegahlah..!!” dengan tujuan menghilangkan kemungkaran bila tidak maka
menggunjingnya hukumnya haram.





الثَّالِثُ : الاِسْتِفْتَاءُ : وَبَيَانُهُ أَنْ يَقُول لِلْمُفْتِي
: ظَلَمَنِي أَبِي أَوْ أَخِي أَوْ فُلاَنٌ بِكَذَا . فَهَل لَهُ ذَلِكَ أَمْ لاَ ؟
وَمَا طَرِيقِي فِي الْخَلاَصِ مِنْهُ وَتَحْصِيل حَقِّي وَدَفْعِ الظُّلْمِ عَنِّي
؟ وَنَحْوُ ذَلِكَ ، فَهَذَا جَائِزٌ لِلْحَاجَةِ ، وَلَكِنَّ الأَحْوَطَ أَنْ يَقُول
: مَا تَقُول فِي رَجُلٍ كَانَ مِنْ أَمْرِهِ كَذَا، أَوْ فِي زَوْجٍ أَوْ زَوْجَةٍ
تَفْعَل كَذَا وَنَحْوُ ذَلِكَ ، فَإِنَّهُ يَحْصُل لَهُ الْغَرَضُ مِنْ غَيْرِ تَعْيِينٍ
وَمَعَ ذَلِكَ فَالتَّعْيِينُ جَائِزٌ، لِحَدِيثِ هِنْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَقَوْلِهَا
: يَا رَسُول اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ. الْحَدِيثُ. وَلَمْ يَنْهَهَا
رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
.





Dalam
Rangka Meminta Saran atau Nasehat





Misalnya
seseorang yang mengatakan:


Ayahku atau Saudaraku atau Si Anu menganiaya diriku,


Apa
tindakan tersebut berhak ia lakukan ?


Bagaimana
caraku keluar dari masalah ini ?


Bagaimana
aku dapat memperoleh hak-hakku?” Dan sebagainya.





Yang
demkian diperbolehkan karena ada kepentingan menggunjingya, namun sebaiknya
untuk berhati-hati sebaiknya dalam rangka meminta saran ini tidak dikatakan
pelakunya secara langsung semisal dengan pernyataan:





Bagaimana pendapat anda tentang seorang lelaki yang
melakukan semacam ini ?”





Bagaimana pendapat anda tentang seorang suami atau istri
yang melakukan semacam ini ?” dan semacamnya karena tujuan meminta saran dengan
perkataan semacam inipun bisa ia dapatkan, meskipun penyebutan pelaku secara
langsung juga diperbolehkan berdasarkan hadits dari Hindun ra saat ia meminta
saran dari Nabi shallallaahu alaihi wasallam dengan berkata “Wahai rasulullah,
sesungguhnya Abu Sufyan lelaki pelit dan seterusnya.” dan Nabi pun tidak
melarangnya.





Memberi
Peringatan Pada Kaum Muslimin





Menurut
Imam Nawawi dalam permasalahan ini terdapat 5 gambaran:





a.
Menerangkan atau menyebutkan cacatnya nama seseorang dalam sebuah riwayat
hadits atau saksi, kebolehan ghibah dalam hal ini disepakati ulama dalam rangka
kemurnian syariat.





b.
Membicarakan seseorang dalam rangka musyawarah semacam hendak mengikat tali pernikahan.





c.
Saat melihat seseorang yang hendak membeli suatu barang mengenai ciri atau aib penjual
yang tidak ia ketahui misalnya si penjual mencurangi timbangan atau lainnya
dengan tujuan untuk memberi petunjuk padanya agar ia tidak rugi, bukan dalam
rangka menghina atau merusak citra.





d.
Saat melihat seseorang yang hendak belajar agama dan ragu atas dua pilihan,
agar tidak tersesat pada orang fasik dan ahli bid’ah maka boleh bagimu memberi
nasehat padanya.





e.
Mengadukan seseorang pimpinan pada atasannya atas keburukan atau kefasikannya
agar diketahui dan segera diganti supaya tidak tertipu dan dilanggengkan kepemimpinannya
yang menyebabkan keburukan pada orang lain.





الرَّابِعُ : تَحْذِيرُ الْمُسْلِمِينَ مِنَ الشَّرِّ ، وَذَلِكَ مِنْ
وُجُوهٍ خَمْسَةٍ كَمَا ذَكَرَ النَّوَوِيُّ
.


أَوَّلاً : جَرْحُ الْمَجْرُوحِينَ مِنَ الرُّوَاةِ وَالشُّهُودِ ، وَذَلِكَ
جَائِزٌ بِالإِجْمَاعِ ، بَل وَاجِبٌ صَوْنًا لِلشَّرِيعَةِ
.


ثَانِيًا. الإِخْبَارُ بِغِيبَةٍ عِنْدَ الْمُشَاوَرَةِ فِي مُصَاهَرَةٍ
وَنَحْوِهَا
.


ثَالِثًا : إِذَا رَأَيْت مَنْ يَشْتَرِي شَيْئًا مَعِيبًا أَوْ نَحْوَ
ذَلِكَ ، تَذْكُرُ لِلْمُشْتَرِي إِذَا لَمْ يُعْلِمْهُ نَصِيحَةً لَهُ، لاَ لِقَصْدِ
الإِيذَاءِ وَالإِفْسَادِ
.


رَابِعًا : إِذَا رَأَيْت مُتَفَقِّهًا يَتَرَدَّدُ إِلَى فَاسِقٍ أَوْ
مُبْتَدِعٍ يَأْخُذُ عَنْهُ عِلْمًا . وَخِفْت عَلَيْهِ ضَرَرَهُ ، فَعَلَيْك نَصِيحَتُهُ
بِبَيَانِ حَالِهِ قَاصِدًا النَّصِيحَةَ
.


خَامِسًا : أَنْ يَكُونَ لَهُ وِلاَيَةٌ لاَ يَقُومُ لَهَا عَلَى وَجْهِهَا
لِعَدَمِ أَهْلِيَّتِهِ أَوْ لِفِسْقِهِ ، فَيَذْكُرُهُ لِمَنْ لَهُ عَلَيْهِ وِلاَيَةٌ
لِيَسْتَبْدِل بِهِ غَيْرَهُ أَوْ يَعْرِفَ . فَلاَ يَغْتَرَّ بِهِ وَيُلْزِمُهُ الاِسْتِقَامَةَ


الْخَامِسُ: أَنْ يَكُونَ مُجَاهِرًا بِفِسْقِهِ أَوْ بِدْعَتِهِ. فَيَجُوزُ
ذِكْرُهُ بِمَا يُجَاهِرُ بِهِ، وَيَحْرُمُ ذِكْرُهُ بِغَيْرِهِ مِنَ الْعُيُوبِ، إِلاَّ
أَنْ يَكُونَ لِجَوَازِهِ سَبَبٌ آخَرُ






Keburukan Yang Terang-Terangan Ia Lakukan





Bila
seseorang terang-terangan menjalani kefasikan atau kebid’ahannya, maka boleh
menyebutkan cela yang secara jelas ia lakukan dan haram menyebutkan lainnya
kecuali bila ada hal yang memperbolehkan penyebutan lainya.





السَّادِسُ : التَّعْرِيفُ. فَإِذَا كَانَ مَعْرُوفًا بِلَقَبٍ كَالأَعْمَشِ
وَالأَعْرَجِ وَالأَزْرَقِ وَالْقَصِيرِ وَالأَعْمَى وَالأَقْطَعِ وَنَحْوِهَا جَازَ
تَعْرِيفُهُ بِهِ، وَيَحْرُمُ ذِكْرُهُ بِهِ تَنَقُّصًا، وَلَوْ أَمْكَنَ التَّعْرِيفُ
بِغَيْرِهِ كَانَ أَوْلَى





Penamaan





Boleh
menyebutkan kekurangan orang lain bila justru ia lebih dikenal oleh orang yang ditanyai misalnya dalam rangka menanyai alamat seseorang, dan tidak ada cara lain untuk menjelaskan kecuali dengan memberi julukan dengan suatu kekurangan seperti “Si Rabun,
Si Pincang, Si Jereng, Si Cebol, Si Buta, Si Buntung” dan sebagainya asalkan
tidak bertujuan merendahkan kekurangannya dan bila masih memungkinkan penamaan
dengan selain kekurangannya tentu lebih utama dan bijaksana.





Wallahu
a’lam.





No comments

Powered by Blogger.