Pengertian Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah
Sebagaimana yang telah kita
pahami, bahwa ibadah terbagi menjadi dua, yaitu Ibadah Mahdhah dan Ibadah
Ghairu Mahdhah.
Ibadah Mahdhah juga
terbagi lagi menjadi dua:
1) Ibadah Mahdhah Muqayyad
Ibadah murni yang ketentuan cara
pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Syara’, baik waktu pelaksanaannya, tempat,
jumlah, dan detail pelaksanaan yang lain dan akhirnya pelaksanaan Ibadah
semacam ini bersifat Tauqifiy, dan tidak boleh kita berinofasi terhadap ibadah
semacam ini, semisal dengan Mengurangi jumlah putaran Thawaf dalam Haji, atau
menambahkan jumlah Rakaat dalam salat, atau menambah jumlah mustahiq zakat dari
delapan yang telah digariskan.
Terhadap jenis Ibadah ini berlaku baginya
Kaidah:
الأصل في العبادات التوقيف
Asal pada ibadah-ibadah adalah tauqif.
2) Ibadah Mahdhah Muthlaq Ghairu Muqayyad
Ibadah murni yang sumber dalilnya
bersifat ‘Am (umum) dan tidak dijelaskan Teknis (cara) pelaksanaannya, semisal baca Al
Qur’an, berdzikir. Terhadap teknis pelaksanaan ibadah semacam ini kita bebas
mengaktualisasi teknis pelaksanaannya, baik waktu, tempat, sendiri atau
berjama’ah, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syara’.
Semisal
membaca alqur’an atau berdzikir di kamar mandi (WC) atau tempat-tempat kotor
yang lain.
Ibadah Ghairu Mahdhah yakni
setiap pekerjaan yang hukum asalnya Mubah namun kemudian bisa bernilai Ibadah
bergantung pada MAQASHID atau tujuan dari pelaksanaan pekerjaan itu sendiri.
Untuk pekerjaan jenis ini berlaku baginya kaidah:
الاصل فى الاشياء
الاباحة حتى يدل الدليل على تحريمه
“Asal dari segala sesuatu itu Mubah, sampai
ada dalil yang menunjukkan atas keharamannya.”
Selanjutnya, jenis amal semacam
ini dapat kita klasifikasikan dalam dua bagian:
Pertama:
Jenis amalan yang yang dapat
bernilai Ibadah ditinjau dari niat atau tujuannya.
Contoh: PEMBERIAN UANG
KEPADA ORANG LAIN, pemberian tersebut bisa menjadi Shadaqah Sunnah, Bisa
menjadi Hibbah tanpa nilai Ibadah, Bahkan bisa dikategorikan Money Politic
jika diberikan dengan maksud agar dipilih menempati jabatan tertentu.
Jadi jika ada dalil yang
mengharamkan pemberian uang untuk money politic maka pemberian uang
dengan maksud demikian dianggap terlarang.
Kedua:
Amalan atau pekerjaan yang
Nilainya apakah ia termasuk Ibadah atau bukan, bergantung pada amalan
berikutnya yang menjadi Maqashid-nya di mana pekerjaan ini hanya berfungsi
sebagai WASILAH penghantar atau sarana untuk dapat dilaksanakannya amalan yang
dimaksud (al-maqshud).
Untuk amalan jenis ini berlaku baginya kaidah LIL WASA-IL HUKMUL MAQASHID di
mana hukumnya bergantung pada amaliah yang menjadi MAQASHID atau MAUSHUL ILAIH.
Contohnya mempelajari Ilmu Tajwid,
ia menjadi wajib mengingat tuntutan membaca al qur’an dengan tartil (sesuai
qaidah tajwid) adalah wajib. Kewajiban ini berhubungan erat dengan kaedah dalam
disiplin Ilmu Ushul Fiqih pada Fasal MA LAA YATIMMUL WAJIB ILLAA BIHI FAHUWA
WAJIB.
Contoh lain adalah membeli air
pada dasarnya adalah mubah (boleh dibeli, boleh tidak, dan tidak berpahala).
Namun ketika seseorang mau shalat fardhu tetapi tidak ada air di sisinya
melainkan harus membeli dan ia memiliki kesanggupan untuk membeli air maka
hukum membeli air di sini menjadi wajib dan berubah menjadi amalan yang
berpahala serta dihitung sebagai ibadah ghairu mahdhah.
Pada kasus tersebut,
membeli air merupakan wasilah, sedangkan wudhu/ shalat adalah maqshud. Karena
wudhu shalat fardhu itu syarat sah shalat fardhu tersebut maka membeli air juga
dihukumkan wajib jika mampu.
Wallahu a'lam
Komentar