Makna Bid'ah Yang Sering Menjadi Polemik, Hal. 5











Dengan demikian para ulama sendiri
yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika
sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana
yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang
mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. 








Bukan semacam mereka yang membuat
pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.





Dari penjelasan
ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru,
apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para
ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk
kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang
menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.





5. Kalangan
yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah
bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini
sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah,
bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati
syirik”.





Jawab:


Subhanallah
al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih,
membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan
Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca
tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran
Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang
dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini
semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat:
“Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! 




Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak
sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut
hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena
membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn
‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan
“Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?!
Hasbunallah.





Kemudian dari
mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara
syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene
sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan
dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan
‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian
mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah.





Bukankah itu
berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami
adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat
agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah
siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna
“Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!





Kita katakan
kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar
ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah
benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja
orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman
orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu
bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan
lainnya akan saling bertentangan. 




Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan
hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama
ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap
bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.


Pemahaman ini
sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:





Ù…َÙ†ْ ابْتَدَعَ بِدْعَØ©ً ضَلاَÙ„َØ©ً لاَ
تُرْضِÙŠ اللهَ ÙˆَرَسُÙˆْÙ„َÙ‡ُ Ùƒَانَ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ Ù…ِØ«ْÙ„ُ آثَامِ Ù…َÙ†ْ عَÙ…ِÙ„َ بِÙ‡َا لاَ
ÙŠَÙ†ْÙ‚ُصُ Ù…ِÙ†ْ Ø£َÙˆْزَارِÙ‡ِÙ…ْ Ø´َÙ‰ْØ¡ٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)





“Barangsiapa
merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan
Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)





Inilah
pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah
al-Anbiya’.





6. Kalangan
yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru
tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah
melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu
yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.





Jawab:


Baik,
Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata:
Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita
jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan
Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.





Bila mereka
berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan
oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak
ada.





Lalu kita
katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah
(boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?!
Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?!
Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik
dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh
Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah
mengatakan:





التَّرْÙƒُ لاَ ÙŠَÙ‚ْتَضِÙŠ التَّØ­ْرِÙŠْÙ…





“Meninggalkan
suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang
haram”.





Artinya, ketika
Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti
kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.





Sudah maklum,
bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus
melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah,
menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun.
Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi
orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan snjata,
menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim
para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.





Bahkan dengan
sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut
dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa
perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau
terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang
mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti
ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.





Kesimpulan


Dari penjelasan
yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat
Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka
semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu
atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf
dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus
semua nama mereka kita kutip di sini.





Dengan demikian
bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka
berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga
sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang
benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu
terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran.
Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa
mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka
merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in,
para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.





Tamat.





********


Baca juga Halaman sesudah dan sebelumnya :



















No comments

Powered by Blogger.