Hukum Memainkan Alat Musik Menurut Perspektif Islam




Alat musik telah ada sejak dahulu bahkan menurut satu riwayat `ud (kecapi) itu diciptakan oleh anak nabi Adam yang bernama Malik bin Adam. Oleh karena itu pembahasan tentang alat musik bukanlah hal yang baru. Para ulama semenjak dahulu telah menerangkan hukum beberapa alat-alat musik yang ada pada masa mereka. Di bawah ini kami sajikan beberapa jenis alat musik beserta tanggapan para ulama tentang hukumnya.



Karena banyaknya perbedaan pendapat dalam masalah ini, turut kami susun kesimpulan dari semua pendapat ulama pada bagian akhir pembahasan.




1. Daff/Duff (Rebana)







Dalam mazhab Syafii terjadi khilaf para ulama tentang hukum menggunakan rebana.





- menurut pendapat yang mu`tamad (menjadi pegangan) hukumnya mubah baik pada acara perkawinan, khitan ataupun acara lainnya. tetapi yang lebih baik meninggalkannya atau tidak menggunakannya.





- Haram hukumnya pada selain acara perkawinan dan khitan. Ini adalah pendapat Al Baghwy didalam kitab Tahzib, Abu Ishaq Asy Syirazi didalam Al Muhazzab, Ibnu Abi `Ashrun dan ulama lainnya.





- Mubah pada perkawinan dan khitan, sedangkan pada selain keduanya makruh. Ini adalah pendapat Abu Thayyib di dalam kitab Ta`liqnya.





- Menurut pendapat ulama mutakhirin disunatkan pada acara perkawinan dan khitan. Ini adalah pendapt yang dipegang oleh Al Baghwy dalam kitab syarah sunnahnya. Didalam Fatawy Abi Al Laisty As Samarqandy Al Hanafy disebutkan bahwa memukul rebana pada selain perkawinan dan khitan hukumnya khilaf para ulama:





- Makruh





- Mubah mutlaq. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Imam Haramain dan Imam Ghazaly.





- Mubah pada perkawinan, hari raya, kedatangan orang dari tempat yang jauh dan setiap kegembiraan. Ini adalah pendapat Imam Ghazaly didalam Ihya, Al Qurthuby Al Maliky didalam Kasyful Qina` Para ulama yang mengatakan sunat menggunakan rebana pada acara perkawinan dan khitan berpegang kepada satu hadis yang diriwayatkan oleh At Turmuzi.






فصل ما بين الحلال و الحرم الضرب بالدف






Artinya "pemisah antara halal dan haram adalah memukul rebana"





Dan satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Hibban:






أنه صلى الله عليه وسلم لما رجع إلى المدينة من بعض مغازيه جاءته جارية سوداء فقالت يا رسول الله إني نذرت إن ردك الله سالما أن أضرب بين يديك بالدف وأتغنى فقال لها إن كنت نذرت فأوف بنذرك رواهما ابن حبان وغيره






Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW manakala kembali dari satu peperangan, datanglah hamba sahaya hitam dan berkata Ya Rasulullah Saya bernazar jika Allah mengembalikan kamu dengan selamat, maka aku akan memukul rebana dan bernyanyi, Rasulullah berkata kepadanya jika kamu telah bernazar maka sempurnakanlah nazarmu.(H.R Ibnu Hibban) Ibnu Hibban telah menggapgap shaheh kedua hadis tersebut. Selain berdasarkan hadis tersebut ada juga hadis lainnya tetapi sanadnya dhaif:






إعلنوا بالنكاح واضربوا عليه بالغزبل






“Umumkanlah pernikahan,  serta (ramaikan) dengan memukul daff (rebana).”




Para ulama yang berpendapat mubah mengatakan bahwa Fi’il amar (kata perintah) “ramaikan dengan memukul duf” pada hadis tersebut mengandung makna ibahah (boleh), bukan bermakna wajib ataupun sunah, karena pada dasarnya rebana tersebut termasuk kedalam katagori lahwi (sesuatu yang dapat melalaikan dalam perbuatan sia-sia) yang tercela. Selain itu didalam satu riwayat disebutkan Abu Bakar ra menamai rebana dihadapan Rasulullah dengan "nyanyian iblis" sedangkan Rasullah tidak mengingkarinya.





Para ulama juga berselisih pendapat bila rebana tersebut memakai "jalajil"(kericingan dipinggir rebana). Menurut pendapat yang Ashah dibolehkan.





2. Gendrang (Thabul)









Syaikhani (Imam Nawawy dan Imam Rafii) dan ulama lainnya mengatakan: tidak diharamkan memukul gendrang kecuali kubah (dinamakan juga dengan darbikah) yaitu gendrang yang panjang dan dua tepinya lebih luas dari tengahnya. Ibnu Hajar mengatakan bahwa pada masa beliau salah satu ujungnya lebih besar, sedangkan ujungnya yang lain lebih kecil dan tidak tertutup.



Alasan diharamkan thabul kubah adalah karena ia merupakan alat yang sering digunakan oleh kaum mukhannisin (kaum yang menyerupakan dirinya dengan wanita atau waria) Maka menggunakannya akan dikatakan menyerupakan diri dengan kaum fasiq. Padahal hal ini sangat dilarang sebagimana dalam satu hadis Rasulullah berkata:






من تشبه بقوم فهو منهم . رواه أبو داود





Artinya: Barangsiapa menyerupakan dirinya dengan satu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.





Sebagian ulama mengharamkan genderang (thabul) tanpa mengaitkan (taqyid) dengan thabul kubah kecuali daff (rebana). Ini adalah pendapat Qadhi Husain, Al Bandanijy, Al Hulaimy, Abu Ishaq Asy Syirazy, Ar Rauyani, Al Baghwy, Al Khawarijmy, Al Imrany dan beberapa ulama lainnya.



Walaupun demikian mereka membolehkan thabul (genderang) yang dipakai pada hari raya, peperangan dan rombongan jamaah haji. Sedangkan sebagian ulama lainnya mengatakan yang diharamkan adalah thabul lahwy. Sedangkan Syaikhani (Imam Nawawy dan Imam Rafii) dan beberapa ulama lainnya mengatakan tidak diharamkan thabul kecuali kubah.







Mengenai perbedaan ini Ibnu Ruf`ah mengatakan bahwa para ashhab (ulama yang hidup pada priode 400 tahun hijriyah) telah menjelaskan bahwa dibolehkan gendrang peperangan. Maka Alif lam yang ada pada kalimat thabul pada kalam ulama yang mengharamkan thabul adalah alim lam `Ahdi, yang dimaksud dengan thabul disitu adalah thabul yang dipergunakan oleh kuam mukhannisin (waria). Demikian juga yang dijelaskan oleh Al Mawardi.



Maka antara pendapat yang mengaharamkan seluruh thabul kecuali rebana dan pendapat yang membolehkan seluruh thabul kecuali kubah tidaklah terjadi pertentangan. Karena yang dimaksud dengan thabul pada pendapat pertama adalah thabul lahwi yang tak lain adalah kubah dengan dalil mereka sepakat membolehkan gendrang peperangan.





Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa keharaman kubah merupakan ijmak para ulama. Syaikh Abi Muhammad Al Juwainy mengatakan bahwa para ulama telah sepakat ( ijmak;konsesus ) mengharamkan kubah karena ada hadis yang mencela orang orang yang memukul dan mendengar kubah.



Ulama lain yang menaqal ijmak ini adalah Al Qurthuby, beliau mengatakan "tidak diperselisihkan tentang keharaman mendengarnya dan tidak pernah saya dengar para ulama salaf dan khalaf yang yang diterima pendapatnya yang membolehkannya ( kubah)."





Adapun beberapa hadis Nabi yang melarang kubah antara lain:





 - Hadis riwayat Abi Daud:






عن عبد الله بن عمرو أن نبى الله -صلى الله عليه وسلم- نهى عن الخمر والميسر والكوبة والغبيراء






Artinya: Dari Abdullah bin Umar "bahwasanya Nabi Saw melarang khamar, judi, kubah dan `ubaira`(sejenis minuman keras dari jagung).





- Hadis riwayat Ad Dalamy:



أمرت بهدم الطبل والمزمار






Artinya: Aku diperintahkan untuk menghancurkan thabul( gendrang) dan mizmar(Seruling).





- Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban dan Baihaqi dari Ibnu Abbas ra.






إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إن الله عز وجل حرم عليكم الخمر والميسر والكوبة






Artinya: bahwasanya Rasulullah Saw berkata:Allah azza wajalla telah mengharamkan kepada kamu khamar, judi, dan kubah.





Al Baihaqy dalam sunan Kubranya menerangkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Sufyan dari Ali bin Bazimah. Sufyan bertanya kepada Ali :"Apa yang dimaksud dengan kubah? Ali bin Bazimah menjawab " Thabul". Karena ini merupakan tafsir dari perawi maka tafsir kubah dengan thabul lebih didahulukan dengan tafsir lainnya yang mengatakan bahwa makna kubah adalah nard (dadu). Dengan ini terjawablah apa yang disebutkan oleh Imam Az Zabidy didalam syarah Ihya, Ittihaf Sadah Al Muttaqin (hal 592 juzuk 7cet. Darul Kutub Ilmiyah thn 2005) - sebagai dalil bagi orang orang yang membolehkan kubah- "manakala ikhtilaflah para ahli loghat tentang makna kubah, maka gugurlah keabsahan berhujjah dengan hadis-hadis yang menyebutkan kubah"





3. Autar dan Mi`zaf (gitar dan jenis alat musik bersenar)







Para ulama telah sepakat mengharamkan seluruh jenis autar dan mi`zaf (alat musik petik) seperti thanbur,`ud (sejenis kecapi; lute), shanj yang bersenar, rubab, kaminjah (biola), santhir, darbij dan lainnya. Ibnu hajar mengatakan "bila ada orang yang mengatakan bahwa pada masalah ini terjadi khilaf diantara para ulama maka ia telah tersalah dan telah dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga membuatnya buta dan tuli."





Diantara para ulama yang menukil (mengutip) ijma’ ulama tentang haramnya alat musik ini adalah Abu Abbas Al Qurthuby, Abu Fattah Salim bin Ayyub Ar Razy. Al Qurthuby mengatakan "Adapun ma`azif, Autar (alat musik petik), dan kubah tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang keharaman mendengarnya dan tidak pernah saya dengar para ulama salaf atau khalaf yang membolehkannya."







Ada sebagian orang yang menolak ijma’ tersebut dengan membawa dalil perkataan Al Mawardi di dalam Al- Hawi bahwa para ulama mengkhususkan `ud (kecapi) dengan hukum mubah dibandingkan dengan autar lainnya, karena ia bisa menghilangkan kegundahan dan menambah kegembiraan dan juga bisa menjadi penyembuh dari penyakit. Selain itu ibnu Thahir menghikayahkan (menyampaikan)ijma’ para ulama Madinah dan pendapat Abi Ishaq Asy Syirazy yang menbolehkannya bahkan Ibnu Thahir juga mengatakan bahwa Abu Ishaq Asy Syirazi juga mendengarkan ud (kecapi). Ia ( Ibnu Thahir) berkata "ini adalah yang masyhur dalam mazhabnya (Abu Ishaq) dan tak ada seorang ulama pun yang semasa dengan beliau yang mengingkarinya."





Ibnu Hajar Al Haitamy mengatakan bahwa penolakan ijma’ ini adalah suatu yang bathil dengan beberapa alasan:





- Al Mawardy menyebutkan pendapat tersebut didalam kitabnya Al Hawy tak lain karena ia ingin menolaknya, bukan untuk membolehkannya, karena beliau berkata sesudah itu:






هذا لا وجه له






“Ini Tiada pendapat yg membolehkannya” 





- Argumen yang menbolehkannya, karena ia bisa menyembuhkan penyakit, maka hal ini tertolak dengan dua alasan:





1. Bila memang dibolehkan karena menjadi obat, maka semestinya dikaitkan atau dijelaskan tentang penyakit apa yang dapat disembuhkan dengan Alat tersebut.





2. Bila memang dibolehkan karena dharurah, maka tidak sepatutnya pendapat tersebut disebut sebagai wajh (pendapat) yg tidak kuat. Tetapi harus dijazamkan (ditetapkan dgn ketetapan yang kuat)  tentang kebolehannya, sebagaimana halnya berobat dengan benda najis.





Al Hulaimy menjazamkan bahwa alat musik bila bisa bermanfaat menyembuhkan orang sakit maka terhadapnya dibolehkan untuk mendengarnya. Tetapi hal ini harus berdasarkan kesaksian dua orang dokter yang adil bahwa penyakitnya hanya bisa disembuhkan dengan mendengarkan alat musik tersebut.





- Adapun ijma’ ulama Madinah yang dikutipl oleh Ibnu Thahir, ini merupakan dusta dan khurafat dari Ibnu Thahir bahkan Ibnu thahir termasuk orang yang meriwayatkan hadis–hadis maudhu`. Al Azra`i berkata: " ini adalah kecerobohan Ibnu Thahir. Di Madinah hal ini hanya dilakukan oleh orang–orang bodoh dan bathil.





- Demikian juga perkataannya yang mengatakan bahwa Abu Ishaq Asy Syirazy membolehkan dan juga mendengarnya, juga merupakan dusta belaka. Karena Abu Ishaq sendiri didalam kitab Al Muhazzab mengqatha` (memutuskan) diharamkan `ud (kecapi).





Abu Qasim Ad Daula`i mengarang satu kitab yang khusus menerangkan keharaman `ud (kecapi) dilengkapi dengan dalil yang panjang.





Adapun hadis hadis yang melarang menggunakan autar dan mi`zaf


(gitar dan jenis alat musik bersenar) antara lain:





- Hadis riwayat Bukhary.





ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف






Artinya: Akan ada diantara ummatku kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan ma`azif. Imam Syarbainy menyebutkan didalam kitabnya, Mughni Muhtaj: "berkatalah Al Jauhary dan yang lainnya'' Al Ma`azif adalah alat lahwi, termasuk kedalamnya rubab dan jank (chang)".







Dalam kamus mu`jam fuqaha` disebutkan arti ma`azif adalah alat musik yang memiliki senar seperti ud (kecapi), kaman (violin) dan lainnya (musical instruments)





Ibnu Hazm berkata:" hadis ini munqathi`(terputus sanadnya), " bahkan Ibnu Hazm menghukumi maudhu` kepada hadis yang berkenaan dengan alat musik. Ini merupakan dakwaan yang salah karena Imam Bukhary telah menyebutkan hadis tersebut ditempat yang lain dengan sanad yang muttasil (bersambung), dan para Imam-Imam telah menerangkan bahwa satu hadis yang disebut oleh Imam Bukhary dalam bentuk ta`liq (putus pada awal sanadnya) tetapi beliau sebut dengan sighat jazam maka hadis tersebut shahih dan bisa dijadikan dalil bahkan hadis tersebut juga masyhur dari selain Bukhari.





- Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal:






إِنَّ الله عَزَّ وَجَلَّ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ ، وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكَبَارَات وَالْمَعَازِفَ وَالأَوْثَانَ الَّتِي كَانَتْ تُعْبَدُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ






Artinya : Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk bagi sekalian alam dan memerintahkan aku untuk menghapus mazamir (segala jenis seruling), kabarat (sejenis gitar), ma`azif dan patung yang disembah pada masa jahiliyah.





- Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya, Ibnu Jarir, Ath Thabrany dan Ibnu Mardawaih.






إن إبليس لما نزل إلى الأرض قال يا رب أنزلتنى إلى الأرض وجعلتنى رجيما فاجعل لى بيتا قال الحمام قال فاجعل لى مجلسا قال الأسواق ومجامع الطرق قال فاجعل لى طعاما قال ما لم يذكر اسم الله عليه قال اجعل لى شرابا قال كل مسكر قال اجعل لى مؤذنا قال المزامير قال اجعل لى قرآنا قال الشعر قال اجعل لى كتابا قال الوشم قال اجعل لى حديثا قال الكذب قال اجعل لى رسولا قال الكهانة قال اجعل لى مصايد قال النساء ابن أبى الدنيا فى مكايد الشيطان ، وابن جرير ، والطبرانى ، وابن مردويه عن أبى أمامة






Artinya: Ketika diturunkan kebumi Iblis berkata:Ya tuhanku Engkau turunkan aku kebumi dan Engkau jadikan aku terkutuk, maka jadikanlah untukku rumah. Allah menjawab: kamar mandi. Maka jadikan untukku majlis. Allah menjawab: pasar dan tempat berkumpul di jalanan, maka jadikanlah untukku makanan, Allah menjawab: makanan yang tidak disebutkan nama Allah, maka jadikanlah untukku minuman, Allah menjawab: semua minuman yang memabukkan, maka jadikanlah untukku azan, Allah menjawab: Semua seruling, maka jadikanlah untukku Quran, Allah menjawab: nyanyian. maka jadikanlah untukku kitab, Allah menjawab: tato, Maka jadikanlah untukku hadis, Allah menjawab dusta, jadikanlah untukku rasul, Allah menjawab: dukun, jadikanlah untukku perangkap, Allah menjawab: wanita.





4. Mizmar (Seruling; jenis alat musik tiup)







Menurut Al Kalaby, orang yang pertama sekali menciptakan seruling adalah Bani Israel. Para ulama telah sepakat (ijmak) mengharamkan seluruh jenis seruling, kecuali yara`, yang dinamai juga dengan syabaabah (seruling tanpa mulut) . Menurut pendapat yang kuat ia juga diharamkan sama dengan jenis seruling lainnya. Ibnu Abi Asharun mengatakan : pendapat yang benar adalah haram, bahkan ia (syababah) lebih layak untuk diharamkan dibandingkan seruling lainnya yang telah disepakati keharamannya, karena suaranya lebih kuat dan ia merupakan syiar pemabuk dan orang – orang fasik. Para ulama membolehkan nafir (terompet) yang dipergunakan rombongan jamaah haji.





Kaum Dhahiriyah dan Ibnu Thahir membolehkan seruling. Selain itu mereka juga menolak adanya nash yang melarangnya dan menganggap dhaif hadis-hadis yang berkenaan dengan alat tersebut. Para ulama menolak pernyataan tersebut karena karena keharaman alat musik memiliki dalil yangkuat berupa Al qur-an, Hadis, qiyas (analogi) bahkan ijma’ (konsesus).





Imam Nawawy dan Rafii mengatakan: Mizmar `iraqi (seruling yang memiliki mulut dan biasanya dipergunakan bersama autar) dan alat yang dipergunakan bersama autar haram tanpa khilaf" Imam Jamalul islam Ibnu Bizry mengatakan: "Syababah adalah seruling dan ia haram berdasarkan nas. Dan wajiblah mengingkarinya dan tidak diperbolehkan mendegarnya."





Al Qurthuby berkata: ia lebih tinggi dari seruling (lainnya), semua alasan diharamkan seruling juga ada padanya bahkan lebih, maka ia lebih aula (utama) adalah diharamkan". Dasar terjadi khilaf pada syababah adalah sebuah hadis dari Nafi`yang diriwayatkan oleh Abi Daud:






عن نافع أنه قال: (سمع ابن عمر رضي الله عنهما مزماراً, قال: فوضع أصبعيه على أذنيه، ونأى عن الطريق، وقال لي: يا نافع ! هل تسمع شيئاً؟ قال: فقلت: لا، قال: فرفع أصبعيه من أذنيه، وقال: كنت مع النبي صلى الله عليه وسلم فسمع مثل هذا فصنع مثل هذا.






Artinya: Dari Naf`,ia berkata: Ibnu Umar mendengar mizmar. Ia (Nafi`) berkata: maka ia (Ibnu Umar) meletakkan dua jarinya pada telinganya dan berpaling dari jalan. Ia (Ibnu Umar) berkata kepadaku: apakah masih kamu dengar sesuatu? Aku menjawab: tidak. Maka ia (ibnu Umar) mengangkat dua jarinya dari dua telinganya dan berkata: adalah aku bersama Nabi saw, maka beliau mendengar suara seperti ini, maka beliau berbuat seperti ini (menutup telinga).





Para ulama yang membolehkannya, berpegang kepada tindakan Nabi SAW yang tidak menganjurkan Ibnu Umar untuk menutup telinganya dan tidak melarang pengembala yang membunyikan seruling tersebut. Maka dapatlah dipahami bahwa Nabi saw berbuat demikian karena membencinya atau karena beliau sedang dalam keadaan berzikir.





Alasan tersebut ditolak oleh para ulama lainnya dengan beberapa alasan:





- Rasulullah tidak memerintahkan Ibnu Umar untuk mengikuti beliau karena beliau telah mengetahi bahwa perbuatan beliau menjadi dalil maka pada saat beliau berbuat sesuatu pasti akan langsung diikuti oleh para shahabat.





- Yang dilarang adalah istima`(mendengar secara sengaja), sedangkan bila terdengar tanpa kasad maka hal ini tidak mengapa. Maka Ibnu Umar pada ketika itu hanya mendengar tanpa adanya perhatian dan qasad.





Kesimpulannya seluruh jenis seluring diharamkan walaupun yang terbuat dari jenis tanaman kecuali terompet yang dipergunakan para rombongan jamaah haji.





5. Shanj (Cymbals)







Dinamakan juga dengan Shuffaqatain (Cymbals), yaitu alat musik yang berbentuk bulat lingkaran, cara memainkanya dengan memukulkan salah satunya kepada yang lain.







Menurut pendapat yang kaut sebaimana disebutkan oleh Syaikhani, Qadhi Husain, Abu Ishaq Asy Syirazy dan lain-lain haram karena ia termasuk kebiasaan kaum mukhannisin (waria). Sedangkan Imam Haramain masih mentawaquf hukum mempergunakannya dengan alasan tidak ada hadis yang menerangkan hal tersebut. Hal ini dijawab oleh ulama lain bahwa ia diqiyaskan kepada thabbul kubbah.





Demikian juga diharamkan Shaj yaitu dua bilah kayu yang dipukulkan satu sama lainnya. Adapun ayat Al qur-an yang menjadi pegangan para ulama dalam mengharamkan beberapa alat musik yaitu :





1. surat Al Luqman ayat 5 :






ومن الناس من يشترى لهو الحديث






Ibnu Abbas dan Hasan menafsirkan ayat tersebut dengan Al Malahy (alat musik)





2. surat Al Isra ayat 63 :






واستفزز من استطعت منهم بصوتك






Al Mujahid menafsirkan ayat tersebut dengan ghina` (nyanyian), dan mazamir (seruling).





Dari beberapa urain diatas dapatlah kita pahami beberapa alasan diharamkan beberapa alat musik antara lain karena ;





- Mendorong untuk melakukan hal-hal yang haram seperti minum khamar


- Karena merupakan adat kebiasaan dan syiar orang-orang fasiq maka menggunakannya akan menjadikan seseorang serupa dengan mereka.





Hal tersebut bisa kita lihat pada zaman ini, musik mampu mendorong seseorang untuk bergojet ria dan mengkonsumsi narkoba, selain itu alat musik sangat dekat dengan kefasikan. Para anggota band sangat identik dengan narkoba dan pergaulan bebas, kenyakan badan mereka dipenuhi oleh tato. Karena itu menggunakan alat musik akan menyebabkan seseorang tasyabuh (serupa) dengan kaum fasiq, karena alasan inilah, sehingga dilaranglah alat musik.





Ada juga sebagian orang yang mengatakan bahwa sebagian kaum shufi membolehkan mendengar alat musik karena bisa menambah semangat untuk berzikir, ini merupakan kesesatan orang-orang tersebut.





Kesimpulan dari pembahasan di atas





  • Adapun yang sudah disepakati keharamannya antara lain:



                 - Authar (jenis alat musik petik)


                 - Mizmar (jenis alat musik tiuup) kecuali Syababah


                 - Thabul Kubbah (sejenis gendrang), sesuai gambar di atas





  • Yang disepakati tentang kebolehan menggunakannya adalah Thabul (alat musik pukul/gendrang) selain Gendrang Kubbah. Sedangkan beduk, gendrang perang, gendrang rombongan jamaah haji dibolehkan menggunakannya.



  • Adapun alat musik yg menimbulkan khilaf pendapat perihal menggunakannya, namun dibolehkan menggunakannya menurut pendapat yang kuat  adalah Duff (rebana).



  • Sedangkan alat musik Yang menimbulkan khilaf pendapat ulama perihal penggunaannya, tetapi tidak dibolehkan menurut pendapat yang lebih kuat, antara lain:



                 - Syababah


                 - Shanj tanpa senar





Adapun alat musik modern bisa kita ketahui hukumnya dengan membandingkan dengan alat-alat musik yang telah disebutkan oleh para ulama terdahulu sebagaimana tersebut dalam tulisan ini maupun tulisan lainnya. Bila pada alat tersebut terdapat ‘ilat (sebab) diharamkan seperti pada alat musik yg diharamkan, maka sudah pasti bisa kita hukumi haram juga. (lbm.mudimesra.com)




Musik Menurut Pandangan Imam Al Ghazali



Imam alghazali memiliki penilaian tersendiri yang sedikit berbeda dengan ulama kebanyakan. Menurut al-Ghazali, baik al-Quran maupun al-Hadits, tidak
satupun yang secara vulgar menghukumi musik. Memang, ada sebuah hadis yang
menyebutkan larangan menggunakan alat musik tertentu, semisal seruling dan
gitar [6].








Namun, sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, larangan
tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan
disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata
al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat
maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.





Orang Islam tidak boleh meniru gaya hidup seperti itu. Nabi
SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan: “Man tsyabbaha biqaumin fahuwa
minhum” (barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari
kaum itu).





Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat
Tuhan”, menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip
ketakwaan, dst [7].  Penilaian seperti
itu mayoritas muncul dari ulama-ulama fiqh yang lebih menitik beratkan pada
aspek legal-formal.





Berbeda dengan ulama tasawuf yang “tidak terlalu terganggu”
bahkan banyak menggunakan musik sebagai media untuk “mendekatkan diri kepada
Tuhan”. Contohnya musik pengiring tarian mawlawiyyah yang sering dimainkan sufi
besar Jalaluddin Rumi.





Memang, sejak awal seringkali terjadi ketegangan antara
(pandangan) fiqh dan tasawuf. Yang pertama lebih menitik beratkan pada aspek
legal-formal dengan berpegang kuat pada teks-teks agama (al-Quran dan
al-Hadits). Sementara yang kedua lebih menitik beratkan pada substansinya
dengan berpijak pada realitas kongkrit.





Menurut al-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak
berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari
makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin
disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka
tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga
sebaliknya.





Dalam kaidah fiqh dikenal sebuah kaidah: “al-ashlu baqu’u ma
kana ala ma kana” (hukum asal sesuatu bergantung pada permulaannya). Artinya,
ketika sesuatu tidak ada hukumnya di dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka
sesuatu itu dikembalikan pada asalnya, yaitu halal (al-ashlu huwa al-hillu).




Atau dalam kaidah yang lain disebutkan: “Al-ashlu fil
mu’amalah al-ibahah illa ma dalla dalilun ala tahrimiha” (hukum asal di dalam
muamalah adalah halal kecuali terdapat dalil yang melarangnya). Musik masuk
dalam kategori muamalah, bebeda dengan ibadah yang kedudukannya tidak bisa
ditawar lagi.




Referensi





1. Ibnu Hajar Al Haitamy, Kaffur ria`. cetakan Maktabah Al
Hakikat. Tahun 2005


2. Tuhfahtul Muhtaj. CD Maktabah Syamilah


3. Az Zabidy, Ittihaf Sadatul Muttaqin, cetakan Darul Kutub
Ilmiah tahun


4. Sulaiman Jamal, Hasyiah Jamal ala syarah Manhaj, CD
Maktabah Syamilah


5. Al Qalyuby, Hasyiah Al Qulyuby, cetakan Darul Fikri th
2005.


6. Ibnu Hajar Al Asqalany, Fathul Bary CD Maktabah Syamilah


7. Ramly, Nihayahtul Muhtaj, CD Maktabah Syamilah


8. Khatib Syarbainy, Mughby Muhtaj, CD Maktabah Syamilah




9. Syekh Sulaiman Bujairimy, Hasyiah Bujairimi, CD Maktabah
Syamilah





2 comments:

Powered by Blogger.